“Dollar melewati 16 ribu, negara bangkrut?”
“Krisis 1998 terulang kembali?”
Begitulah opini yang terbentuk di masyarakat ketika mengetahui nilai tukar Rupiah terhadap US$ melewati Rp16.000,- pada hari kamis, 19 Maret 2020. Well, ketakutan seperti ini merupakan bentuk kewajaran, karena harga nilai tukar Rupiah pada kamis tempo hari merupakan yang tertinggi sejak 1998. Lalu, apakah benar Indonesia sedang krisis dikarenakan wabah virus COVID-19? Penanganan wabah virus COVID-19 atau yang lebih dikenal dengan coronavirus oleh pemerintah Indonesia memang cukup lambat. Growth rate suspect mencapai 1,2 – 1,4x per hari, death rate di Indonesia juga cukup tinggi, sekitar 8% atau bisa dikatakan salah satu yang tertinggi di dunia. Akan tetapi, dari sisi ekonomi, Indonesia sebenarnya masih sangat jauh dari kondisi krisis. Saya sebenarnya ada 2 alasan logis untuk pernyataan ini.
Cadangan Devisa Indonesia
Mengutip data dari CNBC Indonesia, cadangan devisa Indonesia per Februari 2020 mencapi US$130,4 milyar. Jumlah ini, hampir 6x lipat dari cadangan devisa Indonesia pada tahun 97/98 yang hanya mencapai US$23 miliar. Semakin tebal dan semakin tinggi cadangan devisa suatu negara, merefleksikan ketahanan ekonomi suatu negara.
Perbandingan Hutang dan PDB Indonesia
Banyak berita yang mengatakan hutang Indonesia terus meningkat. CNBC bahkan melaporkan, pada Februari hutang Indonesia mencapai Rp 4.817 triliun atau setara 30.21%. Well, tingkat hutang yang mencapai 30% PDB sebenarnya masih jauh di batas maksimal tingkat hutang yang diijinkan dalam undang – undang. Berdasarkan UU 17/2003, jumlah maksimal perbandingan hutang dengan PDB adalah 60%. Jadi, kondisi saat ini bisa dikatakan masih terkendali.
Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa US$ bisa melambung setinggi itu jika kondisi keuangan dalam negeri masih baik – baik saja? Salah satu faktor utama dalah kondisi ekonomi Amerika serikat yang jauh dari kata baik saja. Dikarenakan wabah yang sama, coronavirus, JP Morgan baru saja membuat prediksi pertumbuhan PDB Amerika Serikat. Laporan yang diterbitkan pun cukup mencengangkan, yakni pertumbuhan ekonomi Amerika serikat “tumbuh” -4% pada kuartal 1 dan -14% pada kuartal 2. Well, pertumbuhan yang “fantastis” tersebut tentu saja membuat kepanikan luar biasa bagi para pelaku usaha dan investor yang sudah menanamkan modalnya di bisnis riil ataupun berbagai macam produk investasi. Saat ini “cash is king” dan terjadilah likuidasi besar – besaran di seluruh instrumen investasi di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H