Menemukan novel yang menceritakan isu tentang kesehatan mental secara ringan dan mudah dicerna tanpa dibumbui oleh istilah-istilah psikologi yang jarang diketahui oleh orang awam memang cukup sulit apalagi ditengah gempuran cerita-cerita yang masih berputar pada kisah perhantuan serta percintaan beserta dengan sejuta permasalahannya itu.
Namun, novel berjudul Klub Bunuh Diri, karya Eunike Hanny berdasarkan ide cerita dari Ichwan Persada serta diterbitkan oleh Penerbit Bukuditeras ini mampu menjadikan isu yang sebenarnya cukup kompleks menjadi sebuah bacaan yang mengasyikkan dengan alur cerita rapi, karakter kuat dan cerita yang memang relate dengan kehidupan masa kini.
Meski para karakter utamanya masih berkisar seputar dunia remaja tetapi dampak psikologis yang diceritakan melalui karakter-karakter itu bisa mengenai siapa saja, tidak peduli usia.
Novel ini bercerita tentang sekelompok remaja yang memiliki masalah dengan keluarga dan masa lalunya sehingga mengakibatkan depresi berat sampai nyaris bunuh diri.
Di dalam rumah rehabilitasi yang diberi nama Klub Bunuh Diri, sekelompok remaja itu dibimbing dan dikonseling oleh ahlinya sehingga kelak setelah keluar dari sana bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh, bukan cuma sembuh dan bisa memanfaatkan kesempatan kedua yang diberikan dengan lebih maksimal.
Kesempatan kedua, kalimat ini berkali-kali muncul di sepanjang alur cerita Klub Bunuh Diri seakan ingin menegaskan bahwa setiap kita bisa mengalami hal-hal buruk yang dapat berakibat fatal pada kesehatan mental dan jiwa sehingga ritme kehidupan pun menjadi terganggu namun kalau kita mau terbuka dan berusaha mencari pertolongan maka niscaya kesempatan kedua itu akan datang untuk kita bisa kembali menata kehidupan.
Selain masalah kesehatan mental, novel ini juga menyoroti masalah hubungan antara orang tua dan anak.
Orang tua yang cenderung memaksa keinginannya terhadap si anak tanpa mau memahami kondisi dan keinginan anak itu sendiri memang sudah menjadi cerita umum di dalam masyarakat kita.
Seakan, apapun yang menjadi keinginan orang tua merupakan sebuah kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi karena adanya anggapan kalau orang tua selalu benar dibanding si anak. Orang tua sudah lebih dulu merasakan asam garam kehidupan sehingga lebih berpengalaman dibanding si anak.
Isu ini juga yang mau diangkat di dalam novel ini. Hubungan orang tua dan anak yang seharusnya harmonis malah berubah menjadi toxic.