Mohon tunggu...
Gayuh Winisudaningtyas
Gayuh Winisudaningtyas Mohon Tunggu... lainnya -

senang bercerita, karena berbagi itu indah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita Bandung Bondowoso yang Sesungguhnya

28 Juli 2012   16:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:30 10043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343488510533087303

Siang ini aku dapet cerita baru. Sambil minum di dapur kantor, aku ngobrol dengan seorang karyawan di sana. Pak Poyo kepala dapur kantor, yang udah 28 tahun kerja di kantorku. Cerita dimulai dari saling menanyakan alamat, setelah bercerit a soal asal kami masing-masing, aku mulai kehilangan bahan obrolan basa-basi.

Akhirnya aku menanyakan mengenai pemugaran candi prambanan yang dekat dengan kantor. Berhubung pak Poyo udah lama kerja di kantor ini, bapaknya lumayan tahu banyak tentang cerita pembongkaran prambanan. Setelah ditemukan dan dipugar beberapa kali, makin banyak masyarakat yang mendirikan rumah di sekitar candi yang dadakan menjadi tempat wisata. Usaha menjadikan candi prambanan menjadi tempat wisata ternyata memerlukan pengorbanan dari masyarakat sekitar candi. Karena untuk menjadikannya tempat wisata, 3 desa harus di relokasi ke daerah sekitar yang masih kosong.

Tanah kawasan candi yang sekarang sangat luas itu ternyata dulunya adalah pemukiman warga, sawah bahkan pemakaman di desa Prambanan. Pada masa pemerintahan Soeharto, sekitar tahun 1990-an kawasan candi itu akan dijadikan tempat wisata purbakala. Dengan alasan konservasi seluruh warga disekitar candi di’gusur’ dan rumah mereka dibayar tiga kali harga normal, cukup sebanding menurut Pak Poyo. Kemudian dicarikan tanah di Utara, Timur dan Barat candi Prambanan dengan harga yang murah. Seperti cerita Bandung Bondowoso, cerita seribu candi dalam satu malam, lebih dari 1000 rumah dibangun dalam waktu yang sangat cepat. “Dulu itu kayak cerita Bandung Bondowoso, paginya kita lihat tanah kosong, malamnya sudah berdiri rumah baru, dan jumlahnya 1000 lebih,” ungkap pak Poyo menceritakan pengalamannya. Memang tidak dibayangkan dengan rumah bagus gaya minimalis dari bata dan beton, hanya rumah biasa dari kayu dan bambu namun pembangunan yang serentak membuat mitos Lara Jonggrang seperti nyata.

Cerita ini juga sesuai dengan kisah ibu-ibu penjual Lotek-Gado-gado di desa Tlogo, sebelah Timur Prambanan. Beliau salah satu warga yang di pindahkah. Kalau beliau cerita tentang rumahnya yang dulu sudah bagus dan dipaksa pindah. Akhirnya beliau Cuma bisa membawa blandar-pengeret (balok), bagian rumah joglo nya yang terbuat dari kayu jati kualitas terbaik. Usahanya yang sudah dirintis di tempat wisata candi saat ini harus menyewa di kios yang disediakan.

Mendapat pengetahuan dari kacamata orang-orang seperti mereka justru lebih murni, tanpa di tambah-tambahi cerita ekonomi atau politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun