Siapa sih yang tidak kenal Afi Nihaya dan Basuki Tjahaya? Saya kira hanya sedikit saja yang tidak tau keduanya. Dan pada segelintir itu, saya akan bertepuk tangan, "Plok. Plok. Plok. ... ."
Afi dan Ahok memiliki kisah yang kontroversial, kita semua tau. Terlebih saat keduanya menyingsingkan lengan baju untuk membela diri, bukan dengan seni bela diri. Â Afi mendapat pertentangan di mata khalayak karena sebuah tulisan, sedangkan Basuki (Ahok) karena kurang cermat menjaga lisan yang keluar dari mulutnya.
Dan kisah mereka turut diviralakan oleh media. Karena posisi mereka sedang diatas angin, kita-kita pun sebagai konsumen informasi ikut serta mengipas-ngipas bara. Lalu kekontroversialannya menjadi-jadi. Hingga seolah kurang sedap jika tidak ikut mengunyah. Ya, paling tidak harus ikut menelan.
Saya yang tinggal di pedalaman Aceh tidak mungkin tau (atau kecil peluangnya) Â dengan gadis asal Bayuwangi kalau tidak ada tulisan Kompasianer Pringadi Abdi Surya yang sangat populer di Kompasiana dan beberapa tulisan Kompasianer lainnya jadi pengaya pengetahuan. Jadilah saya ikut stalking Facebook Afi dan juga pihak yang terciderai, Mita. Mungkin juga teman yang lain melakukakan hal yang sama.
Lain lagi kisah Ahok, yang sekarang sudah dipenjara karena sifat kontroversialnya tentang penodaan agama. Jauh-jauh tahun sifat kontroversial Ahok terus-terusan digoreng media, hingga mungkin manusia setangkup langit dan sebundar bumi telah tahu.
Sepupu kecil saya juga sudah tahu Ahok, Sidan namanya. Ia yang masih kelas lima SD merupakan salah satu sumber pesan untuk saya kalau Ahok kalah di Pilkada DKI kemaren, padahal saya tidak mikir. Dua hari atau tiga hari setelah Pilkada saya bertandang ke rumahnya, ia menyambut bukan dengan kata "Mau Apa?" "Cari siapa?" atau yang lebih layak "Apa kabar Bang?", malah ia langsung bilang "Ahok kalah Bang". #Adooh. Kemudian sepupu yang lebih kecil, Dewi, kelas 1 SD, ikut menimpali " Saya inginnya Ahok menang." #Ohhh no. Mungkin sepupuku itu salah satu contoh dewasa sebelum waktunya, sudah jadi pengamat politik soalnya. Saya pun heran, tidak tinggal di Jakarta dan masih ingusan pula.
Ya, saya tidak salahkan mereka. Ibarat pepatahnya "lancar kaji karena diulang" atau ada pepatah yang lebih cocok. Dan lagi-lagi media sebagai guru ngajinya dan kita-kita sebagai jamaahnya. Disini saya tidak bermaksud menyalahkan media salah ajar. Tidak. Kitanya saja jadi korban, mungkin.
Afi dan Ahok memiliki kesamaan saat membela kesalahan---hal ini membuatnya semakin populer. Keduanya seolah tidak puas dengan putusan. Meski Afi sudah mengaku bersalah, tapi ia tetap bersifat pongah, dengan melayangkan serangan kalau "kita semua pernah melakukan plagiat". Begitu pula Ahok, saat sudah dipenjara masih saja memberi pesan kalau "perjuangan belum usai", bukankah kata-katanya bisa dilogikakan kalau ia sebenarnya didiskriminasi atau bukan dihukum karena sebuah kesalahan?
Pembelaan mati-matian mereka membuat kelompok di pihak mereka terus melakukan pembelaan dan menyerang lawan. Dan begitu pula sebaliknya. Ini yang 'luar biasa' saya kira, kok mereka punya waktu begitu banyak.
Lain lagi saya kira kisah mereka cukup (kalau tidak bisa disebut total) dapat mengganggu  perkembangan revolusi mental. Alasannya, ya bisa jadi ada yang mencontoh kisah mereka agar bisa terkenal (kemudian dapat untung) dan diundang pak jokowi atau jadi nara sumber di acara talk show media.
Di masa yang modern ini bisa saja, bukan?