Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sesekali Perlu Berkaca pada Anak yang Tidak Terdidik

2 Mei 2017   21:21 Diperbarui: 2 Mei 2017   22:30 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahrin yang sepatutnya setiap pagi pergi sekolah, malah berangkat ke kebun (Dokpri

Ketika kuliah dulu, suatu hari dalam kelas pertama, setelah perkenalan sebelum memulai materi yang ‘memuakkan’, Dosen pernah bertanya: Apa tujuan kalian Kuliah?

Tentu saja jawaban Mahasiswa baru seruangan itu beragam. Karena program kuliah yang kami—Saya dan teman-teman—jalani dituntun untuk mandiri pascapendidikan. Jelas, semua jawaban dari kami bertujuan sangat mulia. Setidaknya yang negara kita butuhkan, tidak merengek pada Ibu pertiwi yang terus diterpa kondisi semakin ringkih sebab nutrisi kian hari terus tersedot tanpa utuh teraliri manfaatnya ke sekujur sel-sel tubuh, yaitu berprospek menciptakan lapangan kerja—minimal utuk diri—selanjutnya tentu meningkatkan pendapatan individu dan kelompok. Kemudian jika dihitung-hitung akan memberi suntikan gizi pada ‘Ibu’ yang sekarat tadi, bukan? Ya, melalui pembayaran pajak.

Juga jika berhasil akan mampu mereduksi para pengangguran yang selama ini menjadi penyakit akut NKRI. Yang belum kunjung ditemukan penawar mujarab oleh mereka-mereka yang melamar atau ditunjuk menjadi ‘dukun’ (baca: pemerintah). Walaupun tidak bisa ditepis juga, beredar anggapan bahwa ‘pemangku’ Negeri dengan mudahnya menjebloskan tenaga asing. Yang lebih menyakitkan seolah tidak ada lagi pencari kerja.  Karena anak-anak luar itu ‘menyusu’ ke tubuh ibu pertiwi secara ilegal.

Kami-kami itu merupakan salah satu olahan para Dukun, diharap akan bernilai lebih dari penawar lainnya.

“Coba kalian pikirkan. Meski kalian serius, apa yakin kuliah dapat merealisasikan tujuan itu?”

Pertanyaan dosen itu cukup mengundang pesimis. Kami semua mencoba mengolah jawaban. Pucat dan lemas. Sedangkan Dosen tersenyum sinis.

“Tidak ada jaminan sukses dengan selembar izajah.” Sambil menenteng selembar kertas materi kuliah dengan tangan kiri beliau dan memperagakan ekspresi jijik. “Meski tertera didalamnya Cum laude!

Ah, bukan kah itu cukup menjatuhkan mental yang sedang membara? Mungkin tidak juga. Tapi, ya begitu bagi kami. Apalagi setelah beliau memberi contoh nyata (katanya): seorang lulusan terbaik dari Kampus kami menuntut ilmu yang langsung dipinang perusahaan tekstil, karena pada praktiknya the best of the best itu tidak memenuhi kriteria yang diharapkan perusahaan dan hanya dipakai tidak sampai tiga bulan, padahal tiga bulan waktu uji coba yang dijanjikan.

Walau kebenaran cerita itu masih misteri. Bisa jadi hanya karangan beliau untuk prize ‘mengerikan’ dalam setiap perkenalan dengan Maba (kemudian kami menyebutnya hadiah istimewa). Setelah penjelasan panjang lebar, terbaca, bahwa Beliau hanya ingin menekankan sesempurna mungkin, pada umumnya ‘apa yang didapat dalam kuliah tidak sama persis dengan permainan di lapangan’, begitu ringkasnya. Pendidikan formal tidak menjamin segalanya. Solusinya singkat saja: baca dan baca, apa saja yang bisa menjadi kemungkinan (peluang) dan action.

Maka, sekarang saya—terlepas dari tujuan utama kuliah—tidak memilih dulu sebagai karyawan kantoran. Kecuali ada tawaran yang ‘wah’, mungkin lain cerita.

Pada kenyataannya, memang, pendidikan yang baik tidak menjamin ‘kesuksesan’ hidup. Terutama sukses dalam kategori materi. Kita tidak terlalu sulit mendapatkan contohnya, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun