Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semua Salah dalam Kekerasan Perempuan dan Anak

9 Desember 2016   19:33 Diperbarui: 9 Desember 2016   19:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam begitu kelam. Desiran angin berhembus menyanyikan kisah pilu dari sebilah hati yang tersayat-sayat kejam oleh pujaan. Malam semakin larut. Dingin semakin merasuk, pertanda pakain you can see yang dikenakan sangat tidak bersahabat. Apalagi butiran gerimis mulai berluncuran menghujam bumi, cahaya buram lampu hiasan Jembatan membantu mata memperjelas tontonan bulirnya.

Kur masih berdiri di ujung barat Jembatan, mengenakan Rok Mini dengan dandanan anggun. Bedak tebal melapisi pipi dan Gincu menor menghiasi bibir yang agaknya mampu menambah nilai seksi senyuman, selanjutnya menambah daya tarik dari kaum penghamba kepuasan. Begitu pula Kur, pakaian seksi dan dandanan ciamik dengan memakai lagak mengundang, kiranya mampu menambah nutrisi dompetnya. Semua itu untuk memenuhi ruang tengahnya dan putri semata wayangnya, Kay.

Perempuan manapun pasti tak sudi menjadi penjaja cinta jika tidak terpaksa. Sama halnya dengan perempuan bernama Kur ini, hati kecilnya selalu menolak. Bahkan awal mulanya ia menghukum diri. Tapi perbuatan itu terus dilakoni lantaran ia tidak mampu melihat mata sayu Kay menahan derita. Baginya Kay berhak hidup layak, sebab ia hanya korban dari perbuatannya dan mantan suaminya yang berhati mirip Anj*ng.

Dulu, dua tahun sejak menikah ia bahagia sekali merangkai cerita dengan Suaminya. Alur cerita semakin lengkap dengan lahirnya buah hati, yang diharap dapat meneruskan rangkaian cerita. Tapi harapan itu sirna ketika Kay belum mantap berdiri, Suami yang dulu begitu ia cintai merubah alur cerita bahagia itu menjadi derita amat menyiksa. Tepat sekali jika gunungan kesalahan dan dosa serta sengsara seharusnya ditempatkan diatas pundak mantan suaminya. Bagaimana tidak, kata tetangga Lelaki itu tenggelam di Meja judi dan ‘minuman Api’ serta bermain dengan perempuan.

Uang yang seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarga: dihabiskan di meja judi dan sisanya untuk membakar paru-paru –rokok dan miras, selebihnya suasana yang panas diademkan dengan bermain ranjang sama perempuan asing karena menurutnya perempuan yang telah melahirkan buah hatinya sudah kalah bersaing.

Kur seperti perempuan pada umumnya, merengek meminta hak dari suami. Tapi apa yang ia dapat berbalik dengan peremuan pada umumnya. Jika perempuan lain hak yang diminta diberikan dengan penuh kasih sayang dan perlakuan romantis, untuk Kur jangankan haknya diberikan melainkan tamparan mendarat tepat pada mukanya. Sejak itu perlakuan kasar lumrah didapat Kur. Bukan hanya ia bahkan putri kecil mereka sering disiksa. Tetangga sudah tau semua itu, bukan rahasia lagi. Sebagian yang iba, mula-mula memberi sedekah seadanya untuk putri mereka. Lama kelamaan semua musnah, lelaki bejat ayah Kay melarang keras dan mengancam nyawa penderma. Tetangga yang peduli telah berpaling muka, apalagi yang menganggap masa bodoh. Tangisan Kay dan siksaan Kur menjadi cerita kelam yang akan disimpan warga, mungkin nanti diceritakan pada anank cucu mereka.

Cerita pilu yang dialami anak-beranak ini sampai pada umur Kay 6 tahun. Akhir cerita, berakhir karena pemegang lakon iblis mati ditembak polisi. Ayah Kay mulai bermain sebagai bandar Narkoba, ketika diciduk polisi ia melawan. Polisi terpaksa mengeluarkan isi otaknya dengan timah panas. Cerita kelam berakhir.

Namun, kedua pemeran sebagai korban dalam cerita masih bernafas, sehingga cerita harus berlanjut. Topik kesusahan terus menonjol. Nasib yang tidak ada seorang pun ingin ini masih menyelimuti. Usaha Kur untuk merubahnya tidak ada setitik pun menunjukkan perubahan. Keahlian yang terpatri di sanubari Kur untuk berperang didunia nihil adanya. Lain lagi kejamnya dunia melibas siapa saja yang termarjinalkan semakin ganas. Kisah kelam Kur dan Kay masih berlanjut.

Didepan cermin Kur berkaca, sambil merenungi tawaran dari teman yang dianggapnya salah satu model pemenang dalam perang dunia. Kemudian ajakan itu digeluti. Melalui cermin ia melihat masih tersisa pesona sebagai modal dasar untuk menempuh jalan -yang menurutnya- jalan satu-satunya memecahkan masalah. Ia tenggelam. Ini cerita awal kenapa perempuan berpakaian seksi nyaris setiap malam mangkal di Jembatan. Tak perduli dingin mencekam atau hujan menghujam, tubuh ringkihnya selalu menebar senyum mengundang pelanggan.

Hari berlalu, Kur semakin dalam tenggelam. Kadang menikmati kadang tidak, yang paling jelas ia merasa nikmat jika para pemburu kenikmatan darinya memberi lembaran berlebih. Sekarang umur Kay sudah 14 tahun, kelas dua SMP. Kur merasa bangga memandang putrinya, namun terkadang sebaliknya jika sepi pelanggan atau diperlakukan kasar dan dipaksa menelan minuman yang membuat ‘gila’ oleh pelanggan, mata kalbunya jadi buta. Kay terkadang disiksa tidak kalah kejam, ia terpaksa bungkam oleh perlakuan ibunya.

Hari semakin berlalu, kehidupan mereka semakin sulit. Peminat jasa Kur semakin sempit. Mungkin karena usianya semakin bertambah atau seprofesian dengannya bertambah jumlah, dan atau entah alasannya, yang jelas kelimpungan. Ditengah kondisi mereka demikian, kekejaman dunia belum mengerem apalagi berhenti, malah semakin melaju. Ide gila kembali muncul, berawal dari seorang mucikari bersilaturahmi ke rumah meraka. Cerita kesulitan Kur terdengar Mucikari. Kemudian si Mucikari menawar harga mutiara yang belum tersentuh pada Kur. Dengan ancaman dan sedikit siksaan Kay menuruti kemauan Iblis Kur dan Mucikari. Kemolekan dan keindahan mutiara dilelang. Laris manis dengan tawaran tinggi. Kay yang awalnya menolak keras kini menikmati, sebabnya perlakuan manja Kur yang dirindu dan bisanya menikmati permainan Global yang begitu melalikan, mereka bisa membeli dari upah menjual diri. #Ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun