Karena kejadiannya terus berulang, kemudian orang-orang yang menggantungkan martabatnya bertanya, "Kami ini haus popularitas, tapi semakin kuat berlangkah, kami seolah tidak bergerak. Malah kadang semakin ke bawah. Tenaga kami terbuang sia-sia. Mohon solusi secepatnya!"
Penjaga tangga menuju langit itu diam, seolah tak acuh. Mungkin dalam benaknya mencerca, "Masih untung gratis, coba kalau bayar. Dasar tak tau diuntung."
Namun, orang-orang yang menumpang tangga menuju langit terus mengumpat. Curhat prihal ketidak puasan satu sama lain terus terjadi.
Terkadang ada benarnya juga umpatan sang penjaga. Walau pun tangga yang mereka tumpangi tidak berbayar speser pun, tapi mereka terus melayangkan surat terbuka. Mulai dari bernada ramah, sedang sampai kasar tiada ampun.
"Coba kalau tidak ada kita, para penjaga pasti tidak dapat makan." Kembali para penumpang mencela, kasar. Penuh protes.
Betul juga, para pengguna tangga memang tidak dipungut biaya. Tapi, karena banyaknya orang yang lalu lalang, manusia yang berotak datang sering nyewa lapak pada badan tangga. Keringat para pemanjat bertumpahan, membuat jualan es cendol akan laris manis. Lain lagi, telapak kaki dan badan pemanjat yang melepuh, membuat sepatu dan pakaian lainnya akan laku keras. Dari pedagang penjaga memungut upeti.
Karena banyaknya lembaran petisi bernada protes beterbangan. Kepala penjaga pernah memberi ultimatum tak kalah beringas, "Pintu masuk memang terus terbuka, tapi kami juga tak pernah menutup pintu keluar. Maka, terserah."
Dari itu, lumayan berbilangan yang insaf. Juga tak kalah jumlah memilih pergi. Serta ada juga yang masih terus-menerus kasak-kusuk satu sama lain.
"Pejaga tidak menghargai kita."
"Sudah sabar."
"Sabar katamu? Berinovasi kok ke belakang."