Semilir angin pagi mulus sempurna menuntun jiwa-jiwa yang mengutuk diri dipacu sang waktu, pikiran-pikiran penuh peluh dan raga dibalut lelah atas kekeliruan paham pada esok hari yang berbau misteri, terhempaskan oleh ketenangan yang dibawa pagi.
Namun tidak bagi perempun paruh baya yang bermuka masam. Baginya tidak ada sedetik pun waktu lenggang. Kecuali saat ia menindih kasur kapuk dan dipeluk mesra selimut tebal. Saat itu tak ada yang tau dia tenang atau barangkali mimpinya tetap hendak menerjang.
Lia, gadis remaja yang menjadi sasaran tembak dari perempuan itu. Semua tetangga mereka tau, ada atau tiadanya Lia di rumah perempuan itu selalu mempersembahkan ketidakpuasan terhadapnya. Bagi Lia, rumah tak ubahnya Kantong Semar dan ia umpama serangga pesakitan yang bisa kapan saja terkena kutukan.
Empu rumah tak tau sepenuhnya kebiadaban didalam rumah. Dunia diluar rumah cukup menyita waktunya, ia harus mengikuti arus dan kadang hampir tenggelam. Itu ia lakukan untuk keperluan rumah yang dalam benaknya berlabel harmonis, termasuk Lia gadis yang malang.
Tidak ada yang menyangka Lia dikutuk sang waktu. Semua menyayangkan. Bagi mereka yang ada kesempatan, sering melemparkan sepotong rezeki dunia padanya. Kadang ia menolak, juga sesekali secara diam-diam menerima.
***
Hari ini kutukan itu datang bertingakat terhadap Lia. Kegetiran yang ia rasa pagi tadi belum enyah, malah waktu kembali menambah beban. Motor yang ditunggangi terjatuh, berdebam, di tengah jalan saat berangkat sekolah. Aktivitas sekolahnya terpaksa ditunda.
Sesampai di rumah, bukan perlakuan layaknya pasien yang ia dapat, melainkan cacian dari mandor berhati dingin, perempuan paruh baya yang sangat disayangkan Malaikat karena Lia terpaksa memanggilnya Ibu—itu setelah Ibunya terdahulu merasa telah cukup memberi kasih sayang terhadapnya, ia pun pamit.
“Anak tak berguna. Bikin susah saja.”
Lia mendapat tembakan kata-kata yang sukses menambah rasa sakit. Orang-orang yang datang mebesuk kondisi Lia tak bisa berkata apa-apa. Diam saja.
Ketidakpuasan terhadap Lia tidak bisa dicari titik alsannya. Lia telah mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya perempuan itu kerjakan. Tapi amarah dan rasa benci masih saja disematkan ke pundak yang tak berdaya itu.