Tentu manusia punya sifat heboh pada sesuatu yang baru. Di mana-mana begitu. Itu juga bergantung kelasnya. Jika ada Gatget keluaran terbaru jelas pak Udin tidak tertarik. Kenapa? Ya, bukan kelasnya.
Orang-orang kota atau orang yang sudah pernah tau, pasti akan ingin lebih tau. Syukur kalau bisa beli. Pak Udin orang ndeso tulen pasalnya, wajar saja ia membuang muka. Pakai Handphonejadul pun tidak pernah. Apalagi benda-benda modern yang dibuat sepintar mungkin. Hal demikian tidak masuk sesuatu yang menarik bagi pak udin.
“Apalah itu? Mending kalau bisa dimakan.” Cueknya.
Terkadang kita merasa aneh pada kehebohan orang kampung—juga sebaliknya. Menurut kita itu sesuatu yang tidak perlu dihebohkan. Seperti kehebohan yang terjadi di Kampung Diatas Bukit. Ya, Diatas Bukit nama Kampung pak Udin tinggal.
Awal kisah, kenapa nama kampung itu Diatas Bukit, pernah suatu kejadian luar biasa, musibah tepatnya.
Ada sebuah kampung di tepi sungai. Namanya kampung Aliran Sungai. Semua penduduknya petani sawah. Tak ada bau amis kelaparan di kampung itu. Karena sawah mereka sangat subur. Penghasilan sekali bercocok tanam sebanding dengan tiga kali sawah di kampung lain. Makmur.
Jum’at hari itu. Sedari pagi, Matahari enggan menunjukkan diri. Padahal musim kemarau. Langit hitam pekat hampir menyerupai malam. Karena warna langit pagi itu sesuatu yang baru. Tentu penduduk Kampung Aliran Sungai heboh. Tapi, tak lama.
“Apa yang kau herani? Ayo ke sawah!”
Salah satu kepala keluarga yang paling makmur di kampung itu sudah tidak peduli dengan kondisi langit dan mengajak anak-anaknya ke sawah. Anak-anaknya nurut.
Orang-orang selalu berpedoman pada keluarga sukses itu. Sekira Matahari naik sepenggalahan, orang-orang langsung kembali bekerja ke sawah masing-masing. Walau pun tidak terlalu terang mereka semangat bekerja.
Hari itu sudah sekitar jam dua belas siang. Biasanya itu jam istirahat penduduk Kampung. Mereka sangat disiplin terhadap peraturan yang mereka buat sendiri itu. Secera kebetulan—karena mereka sangat disiplin—semua orang kampung tidak istirahat. Mereka mengganti waktu yang telah disia-siakan karena memandang langit yang tidak biasa paginya. Jadi, jum’at itu mereka tidak istirahat hingga maghrib—waktu istirahat sebelum malam. Langit masih hitam ketika itu.