Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

30 Menit Siang Itu

15 Maret 2018   19:34 Diperbarui: 15 Maret 2018   19:44 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah pukul 12:00, ia belum mau tidur. Padahal ia harus istirahat. Sebab sudah beberapa hari ia berbaring. Tidak ke mana-mana. Hanya di kamar, yang sesekali dijenguk Ibunya. Bosan.

Karena itu ia pun memutuskan untuk jalan-jalan sebentar siang itu. Pertama ia beranjak ke Kampung tetangga. Bagi siapa saja yang lihat belalakan matanya, pasti mengira ia sedang terpana. Takjub.

Kebun Kopi di Kampung tetangga sungguh mengundang inspirasi baginya. Asri dan teduh kata yang tepat menggambarkan suasana.

Sungai yang belum tercemar tak henti-hentinya menghibur petani dan siapa saja yang datang. Bernyanyi membelah kebun yang terhampar.

Pohon Lamtoro sebagai penudung tanaman kopi tak pernah jeda menari, dedaun yang sudah tua landai berguguran ditiup angin halus. Yang nantinya akan menjadi nutrisi bagi tanaman, diserap melalui akar.

Setelah menyeruput kopi dari taik musang di pondok kebun, sejenak ia berkeliling, mengamati bunga-bunga kopi yang bermekaran. Putih bersih dan mulai berjatuhan, meninggalkan buah-buah kecil yang terus kembung berisi.

Ia terus berlangkah dan menemui gumpalan-gumpalan buah kopi yang sudah memerah. Ranting-ranting kopi menunduk ke bumi, menahan beban yang amat berat, tapi ikhlas dan bahagia.

Ia pun langsung memetik buah-buah yang sudah ranum. Satu persatu keranjangnya terisi. Penuh. Senyumnya merekah.

Pengepul telah menanti di persimpangan, tempat mangkal biasanya. Kata sepakat segera terbentuk. Goni-goni didudukkan diatas timbangan, jarumnya pun segera menunjukkan angka. Tak lama lembaran rupiah memenuhi sakunya. Dalam sekejap ia jadi kaya.

Lalu pada pukul: 12:10 ia beranjak ke sebuah acara penganugrahan ratu kecantikan di Ibu Kota.

Liurnya meleleh melihat paras ayu Nona Negerinya yang baru dinobatkan. Sekita kelopak-kelopak asmara bermekaran di dadanya.

Masih di atas panggung si putri yang baru disematkan mahkota meliriknya. Spontan hendaknya sebuah kesempatan emas tidak akan disia-siakan.

Kedipan mata dilesatkan. Aura berbalas dari sasaran cukup bisa jadi pegangan. Senyumnya merekah. Si Putri keliru gerak, saat sadar hatinya terpikat.

Di sebuah Cafe megah metropolitan cintanya diterima. Ia pun lekat menggandeng tangannya.

Tak lama setelahnya, ke pusat kota sejoli bertamasya. Dua buah cincin permata terpasung di jari manis. Dari jutaan model baju pengantin telah terpilih sepasang. Di hadapan penghulu kedua keturunan Adam-Hawa dihalalkan, sah sudah disebut pasangan.

Keduanya bermandi keringat bahagia diatas ranjang empuk berharum kasturi. Benih-benih berlonjakan di pekarangan. Tertawa ceria, berlarian di halaman. Istana megah telah lengkap penghuni.

Karena harkatnya dinilai semakin terpandang pada pukul 12:20, ia berhak duduk sejenak dengan penguasa yang sebentar lagi pensiun. Ia diundang.

Di kursi panasnya Penguasa tertegun. Raut muka yang tertekan dengan tubuh kerempengnya yang sudah sedikit lebih tambun melemparkan curahan hati.

Darinya penguasa meminta arahan merawat muka. Layaknya cara seorang Pekebun kopi penuh daki mampu menaklukkan hati sang putri.

Sebagai balas budi, tentu hal serupa dengan mitra lainnya, dirinya akan diberi harta, tahta dan wanita kalau ingin poligami.

Intinya, kepadanya penguasa minta strategi, agar kursi tidak minggat ke lain pantat. Kalau bisa hingga menegosiasi pemegang pena pengabulan, supaya kursi sakti jadi miliknya sampai kiamat.

Mendengar itu ia menganga luar biasa, seakan kepalan manusia dewasa longgar disumpel ke rongga mulutnya. Secepatnya mengira-ngira kemungkinan yang bisa.

Lantas, demi mencapai tujuan baru itu pada pukul 12:25 siang itu juga langsung terbang ke kampung halaman.

Tidak jauh dari tempatnya mengukir sukses tadi ia melakukan pengamatan. Berbaur dengan mangsa dilakukan. Tujuannya disamarkan.

Pada pemimpin lingkungan ia pertama  kali bersalaman. Tidak ada yang benci aksinya. Tentu bukan sebab bualan janji-janji saja pintu dibuka, sekalipun ia produk lokal. Sebungkus rokok dan sekilo beras musabab utama basa-basinya didengarkan.

Kepulan demi kepulan asap telah dihembuskan. Satu persatu lintingan mengosongkan bungkusan yang ia bawa. Ruangan kian temaram, serupa disemuliti kabut. Perlahan kepalanya pusing. Jidatnya berat, seolah hendak jatuh.

Ia mengeleng-gelengkan kepala, keheranan. Orang-orang asalnya masih saja belum maju dari kebiasaan yang belum ada legalisasi dari negerinya. Ternyata separuh tembakau rokok dikosongkan, dibuang sekenanya. Ruang yang sudah longgar diganti dengan racikan mirip tembakau, tapi berwarna hijau. Ia tau setelah ada yang menawarkan padanya.

Dalam hatinya ia bertanya-tanya, kapan daerah asalnya akan sejahtera.

Sebab ia telah tahu, orang luar penampung barang haram dari kebun mereka itu sudah berniat tidak lagi menukarnya dengan uang, tapi garam yang berasal dari cina. Yang mana hanya sebatas kenikmatan sesaat untuk kemudian menggerogoti tubuh dan jiwa dengan buas. Itu saja. Tidak lagi bisa digunakan untuk membeli beras. Kecuali sementara dengan menipu tetangga. Sama halnya dengan membunuh sesama.

Pantas kalau tandan pisang di halaman bisa lenyap seketika dari pohonnya. Peralatan dapur ibu tiba-tiba entah ke mana.

Kembali ia mengeleng-gelengkan kepala, bukan lagi keheranan. Tapi asap rokok yang mengandung zat tetrahidrokanabinol dari orang-orang yang berusaha dicerahkannya--agar memilih calon penguasa yang akan menguntungkan perutnya.

Tepat pukul 12:30 ia kelimpungan menahan tubuhnya, mulai goyah dari duduknya.

"Makanya jangan megang Hp dulu."

Ibunya menjenguk dan langsung membaringkannya. Smartphone yang masih digenggam direbut. Tapi ia berhasil menutup satu tap dari Browser yang barusan dibaca.

"Istirahat! Koma lagi nanti."

Ia tak berdaya.

"Calon penguasa dipikirin," gumam sang Ibu setelah melihat layar Smartphone yang masih menyala.

Perlahan ia memejamkan mata. Lemah. Hati sang Ibu memelas dan menyesal karena tidak bisa menjaga anaknya dari penyalahgunaan narkoba. Kemudian memencet tombol on/off.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun