Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Mimpi tentang Kunci

1 Desember 2017   13:27 Diperbarui: 1 Desember 2017   13:34 4481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Jika mencari-cari hari yang paling buruk, barangkali hari ini hampir sempurna untuk mengenangnya dalam hidupku. Karena satu-satu impian yang kulamar mengirim surat penolakan.

Terlebih satu impian yang sudah dirawat baik-baik sejak puluhan tahun, baru saja mendaratkan alasan mangkir,  yang dulu katanya tidak akan jadi masalah: karena belum punya kerja tetap dan sebab itu ia tidak bisa menunggu terlalu lama. Klasik bukan?

Selebihnya tiga jenis impian yang bisa dibulatkan menjadi satu maksud. Yang jika salah satunya bisa memberi kabar gembira hari ini, mungkin impian di atas tidak akan menolak ku, apalagi dengan alasan klasik.

Kenapa aku hanya mengira hari ini, barangkali hampir sempurna jadi hari yang paling buruk? Tak lain, sebab satu impian lagi yang kulamar belum ada kabar. Entah itu akan menjadikan hari ini paling buruk atau membatalkannya? Satu impian lagi yang bisa dibulatkan menjadi satu maksud impian, bersama ketiga jenis impian yang sudah ditolak.

Impian yang tidak terlalu kuharapkan itu telah berubah jadi yang paling kuharapkan. Aku memasukkan berkas lamaran hanya karena saran-saran orang terdekat dan tentu dalam pikiran, siapa tau akan menjegal impian yang barusan pergi sebab alasan klasik. Dari kabar sebelumnya, longgar sekali memasukinya.

Sebenarnya aku tak perlu sekusut ini. Harusnya aku bisa menghibur diri. Misalnya dengan menimbang pengakuan teman yang sudah menyelam lebih dulu dalam impian terakhir. Katanya kalau aku masih ragu akan diterima, ia akan jadi mak comblang, memanfaatkan kedekatannya dengan sang redaksi.

Aku tidak bisa bangkit dari impian yang barusan ditolak? Pula seharusnya bisa memaklumi hal klasiknya. Tidak perlu kaget. Aku tau kisah semacam itu bukan hanya ada dalam cerita dongeng. Itu nyata.

Toh harapan belum juga sirna, seperti kata yang tak kalah klasik "sebelum jalur kuning melengkung...." Ah, sudah.

Malam ini aku mulai tertarik melupakan semua itu. Bagaimana mungkin aku tidak mau menyisakan waktu memandang langit. Di jendala kamar aku berjuntai. Ada purnama yang tersenyum padaku. Kerlap-kerlip bintang seolah mengajak imajinasi bermain keceriaan bukan sebaliknya.

Perlahan kantuk singgah di pelupuk mata. Nyanyian merdu dari makhluk malam, seperti biasa mampu menundukkan hati. Hingga otak leluasa memerintah agar terlelap. Zzzzzz.

"Tunjukkan kalau kau bisa bekerja dengan kami," tukas redaksi.

Teman yang mengajakku mengepalkan tangan. Mungkin memberi semangat. Pagi itu saya diperintahkan meliput sebuah acara pelestarian warisan leluhur. Acara Saman Dua Hari Dua Malam.

Sebelum pertunjukkan mulai, aku sudah tiba di sebuah balai kampung---tempat acara berlangsung. Di depan rumah panggung yang berbahan kayu pinus, motor kuparkir. Aku langsung mengeluarkan kamera pinjaman. Tergesa.

"Lif!" teriak seorang. Aku menoleh.

"Acara belum mulai. Ngopi dulu sini," ajak seorang dari pintu rumah panggung.

Aku terpaku. Mencari tau siapa dia. Seperti kenal, tapi masih kabur. Karena tau namaku, maka jelas ia mengenal. Lagi pula basa-basi dari mana bisa mengajak ngopi orang tidak dikenal. Jika di ladang bisa iya. Tapi ini keramaian. Mustahil.

"Terima kasih. Baru saja," tolakku.

Aku masih belum tau siapa dia. Seorang lelaki yang tampak lebih tua dariku. Namun perkiraanku antara aku dan dia seusia. Wajah tuanya pasti dilahirkan dari paksaan nasib agar bekerja keras.

"Kalau mau ngopi ke sini aja. Jangan sungkan," terangnya ramah. Aku hanya mengangguk.

Belum juga penari datang, Balai Kampung sudah mulai ramai. Acara ini memang dinanti-nanti. Sebab budaya leluhur sudah mulai pudar, terasing oleh sihiran  budaya asing dan keanehan mainan yang disuguhkan modernisasi.

Tak ayal, penonton yang datang bukan hanya dari kampung tetangga. Melainkkan lintas kecamatan, kabupaten dan ada juga mahkluk berambut pirang---kalau ini jelas hanya kebetulan, mungkin menyempatkan diri hanya untuk berswafoto dari rutinitas risetnya di Taman Nasional Gunung Leuser atau menghibur diri menyaksikan badut-badut yang akan menari.

Karena takut tidak dapat spot tepat untuk menembakkan foto yang akan dijadikan ilustrasi liputan aku menusuk ke dalam balai. Menduduki kursi panjang, yang sedari tadi kulihat hanya ada anak-anak di situ.

Satu-dua penari Bines yang sudah berdandan rapi berdatangan, memakai pakaian tradisional yang berwarna mirip lampu stopan. Aku memotretnya. Gadis-gadis itu tersenyum, manis sekali. Lalu tiba-tiba merasa dunia masih ramah padaku. Dunia masih menyediakan impian-impian baru terkait penolakkan terhadapku, yang dengan alasan klasik dan juga berhasil membuatku lumayan terpukul.

""Lif. Semangat amat. Ngopi pun tidak mau." Orang yang mengajak ngopi mendekat. Aku belum mengenalnya.

"Hari pertama soalnya."

"Baru kerja?"

Aku mengangguk.

"Tapi ya jangan sampai lupa Kunci." Ia menyodorkan kunci motorku. Aku memeriksa saku.

"Ya, ampun. Kok bisa lupa," sesalku, " Terima kasih banyak, Bang."

"Bang?"

"Maaf ini.Emmm... apa kita saling kenal ya?"

"Pantas! Hahaha." Aku heran dia tertawa.

"Benar, aku lupa."

"Ya, sudah. Diingat-ingat saja dulu. Kalau sudah kenal, nanti temui aku, sekaligus minta maaf kalau perlu," Ia menepuk pundakku. "Haha... ." Ia langsung pergi ke sudut lain.

Jejeran kursi panjang yang kududuki perlahan dipenuhi penari Bines. Mereka senyam-senyum milahatku. Orang-orang sekeliling juga ikut memandang aneh. Termasuk dia yang tidak kukenal.

Ya, ampun, rupanya senyum dan pelotan orang-orang pertanda pengusiran. Kursi yang dibuat khusus itu juga sudah ada penghuni khusus, para penari Bines. Tidak ada tempat untuk orang lain.

Acara adu kecakapan tarian saman dan ajang silaturahmi berjalan meriah. Walaupun ada yang menganggap kesan estetiknya banyak hilang, namun gerak dan kegarangan tarian semakin beringas, tapi cukup mengobati rasa haus orang akan seni dan budaya yang mulai kendor pagelarannya.

Hari sudah mulai gelap. Para tuan rumah sudah membawa para tamu ke rumah masing-masing, istirahat sejenak. Bahan liputan dan pemenuhan rindu akan seni dan budaya cukup pula bagiku. Waktunya pulang.

Sebelum menunggangi motor, lagi-lagi orang yang telah menolongku menawari singgah. Sebenarnya ada rasa ingin, karena nanti malam aku bisa lagi menikmati pagelaran.

"Maaf bang..." ia keliatan risih, entah karena aku memanggilnya abang atau penolakanku. "Aku harus buat laporan secepatnya."

"Ya, sudah. Jangan lupa lagi kunci."

Seketika itu aku langsung merogoh saku. Ada. Ia langsung berlalu, menaiki anak tangga rumahnya. Aku memerhatikannya hingga pintu sempurna menelannya. Azan sudah berkumandang. Aku pun bergegas.

Tapi... kenapa motor motorku? Kuncinya kok tidak pas. Aku terus mencoba membuka kontak pengamannya. Tidak bisa. Dicoba lagi. Tetap gagal. Orang-orang yang tadi ramai telah lenyap. Aku memeriksa kuncinya, jangan-jangan tertukar. Tidak, tidak tertukar. Gantungannya sama.

Tiba-tiba aku menimbang tawaran orang misterius tadi. Mau mengetuk pintu, tapi sudah keburu malu. Jika tidak... ah ke siapa lagi minta bantuan. Aku terus mencoba membuka kontak sambil menggerakkan setang motor. Rasa kesal semakin menjadi-jadi, sebab setang juga terkunci. Kalau tidak aku bisa mendorong ke bengkel terdekat, pikirku.

Aku mengambil kesimpulan dari coba-coba menalar kejadian nahas ini. Mengingat-ingat saat memarkirkan motor. Hingga lupa kuncinya. Dan... ketemu. Aku tidak pernah mengunci setangnya. Karena itu langsung menggedor pintu rumah panggung, agaknya sedikit melabrak.

"Mana kunci motorku?"

Dia yang hendak Salat magrib bergeming.

"Ini bukan kunci motorku," Sambil melempar kunci bodong ke hadapannya.

"Sudah kubilang, jangan lupa kunci."

"Aku tidak lupa. Itu bukan. Juga aku tidak pernah mengunci setang..."

"Jangan sampai lupa kunci."

"Kamu kan menguncinya?"

"Ssst! Jangan sampai lupa kunci."

"Ssst. Ssst. Mana kuncinya? Aku mau pulang. Cepat."

"Pulang saja. Jangan sampai lupa kunci." Ia langsung mengambil ancang-ancang Salat.

"SIALAN." Aku langsung menggebuknya, terjengkang.

Aku terbangun. Penuh keringat. Nafas memburu. Tersengal. Matahari sudah naik sepenggalahan.

"Tok. Tok. Tok... Asslamualaikum. Ada orang."

"Walaikumsalam." Aku langsung menuju pintu dan membukakannya untuk tamu pagiku.

"Maaf, Lif. Kau ditolak."

"Hah?"

"Kata redaksi keuangan media sedang cekak. Tidak mungkin menambah karyawan."

Mampus.

Kemaren belum terlalu sempurna untuk mengenang sebagai hari paling buruk dalam hidupku, mungkin Tuhan masih bersimpati dengan memolor waktu hingga satu malam. Namun hari ini, meskipun begitu cerah, hatiku benar-benar sedang berkabung. Buntung.

Tiba-tiba aku teringat mimpi barusan, "Jangan sampai lupa kunci" yang terus-menerus ditodongkan padaku.

Catatan: cerita ini terinspirasi dari mimpi benaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun