Teman yang mengajakku mengepalkan tangan. Mungkin memberi semangat. Pagi itu saya diperintahkan meliput sebuah acara pelestarian warisan leluhur. Acara Saman Dua Hari Dua Malam.
Sebelum pertunjukkan mulai, aku sudah tiba di sebuah balai kampung---tempat acara berlangsung. Di depan rumah panggung yang berbahan kayu pinus, motor kuparkir. Aku langsung mengeluarkan kamera pinjaman. Tergesa.
"Lif!" teriak seorang. Aku menoleh.
"Acara belum mulai. Ngopi dulu sini," ajak seorang dari pintu rumah panggung.
Aku terpaku. Mencari tau siapa dia. Seperti kenal, tapi masih kabur. Karena tau namaku, maka jelas ia mengenal. Lagi pula basa-basi dari mana bisa mengajak ngopi orang tidak dikenal. Jika di ladang bisa iya. Tapi ini keramaian. Mustahil.
"Terima kasih. Baru saja," tolakku.
Aku masih belum tau siapa dia. Seorang lelaki yang tampak lebih tua dariku. Namun perkiraanku antara aku dan dia seusia. Wajah tuanya pasti dilahirkan dari paksaan nasib agar bekerja keras.
"Kalau mau ngopi ke sini aja. Jangan sungkan," terangnya ramah. Aku hanya mengangguk.
Belum juga penari datang, Balai Kampung sudah mulai ramai. Acara ini memang dinanti-nanti. Sebab budaya leluhur sudah mulai pudar, terasing oleh sihiran  budaya asing dan keanehan mainan yang disuguhkan modernisasi.
Tak ayal, penonton yang datang bukan hanya dari kampung tetangga. Melainkkan lintas kecamatan, kabupaten dan ada juga mahkluk berambut pirang---kalau ini jelas hanya kebetulan, mungkin menyempatkan diri hanya untuk berswafoto dari rutinitas risetnya di Taman Nasional Gunung Leuser atau menghibur diri menyaksikan badut-badut yang akan menari.
Karena takut tidak dapat spot tepat untuk menembakkan foto yang akan dijadikan ilustrasi liputan aku menusuk ke dalam balai. Menduduki kursi panjang, yang sedari tadi kulihat hanya ada anak-anak di situ.