"Usin malu Mak. Malu."
"Kenapa harus malu. Kita tidak bisa mengadakan pesta meriah seperti teman-temanmu. Jangankan pesta, upah Mantri aja bapakmu tidak tinggalkan uang. Kamu malu sama siapa, hah?"
"Sama teman-teman..."
"Ah, sudah! Yang ngasih makan kamu itu aku. Bukan dari orang tua teman-temanmu. Kenapa malu? Kamu mau sampai tua tidak disunat?"
Usin tidak lagi menjawab gerutuan Emaknya. Ia memilih mengalirkan air mata. Deras meluncur ke dagunya yang tirus. Sebelum akhirnya terjatuh, meresap ke dalam tanah. Maka, ketika itu pula Bumi merasakan kepedihan sangat yang dirasa sang bocah.
Di seberang jalan Kampung, emak-emak yang mengerubuti Becak sayur membuka telingga lebar-lebar pada gerutuan Iyah yang sedang membujuk anaknya agar mau ikut Sunat Massal.
"Kok Iyah gak malu, ya?"
"Iya. Wibawa Kampung kita akan terjatuh kalau anaknya ikut Sunat Massal."
"Kenapa terjatuh?" sahut tukang sayur keheranan.
"Sunat itu harusnya dilakukan meriah. Apa kata orang kalau anak kita ikut Sunat Massal. Malulah."
"Ih.... malu."