Langit kian kelabu. Itu memastikan, senja kembali tertikam. Memang sudah beberapa hari belakangan, pelipur lara sebelum malam mencekam itu terhalang mendung.
Sambil mengangkangi motor, Amir menembakan mata ke ufuk barat. Berharap pada entah, awan gelap segera menyingkir---agar keemasan senja sebentar memanjakan mata. Tapi, apa? Hasrat besarnya kian menuju hampa. Sejalan dengan semakin memudarnya cahaya. Ditandai dengan gelap perlahan menyapa.
Ia sedikit terhibur dengan klikik gerobolan burung jalak yang silih berganti membelah udara. Mungkin setelah kenyang mengutu kerbau di hamparan sawah, hendak kembali menghabiskan malam di suaka sebelah timur. Setiap sorenya melintas.
Debu halaman masih berpendaran dibelah bundaran karet yang sudah ingin pensiun. Meski di perjalanan berulah, seolah ingin diperhatikan---mogok. Motor tuanya kembali mengantarnya pulang. Menderu di halaman. Setelahnya berhasil diparkirkan.
Seiring dengan mengalunnya azan magrib, yang didendangkan merdu oleh bilal. Keriuhan kampung berada di titik puncak. Orang-orang masih sibuk lalu lalang. Dengan tubuh penuh lumpur dan tangan berinai getah rumput. Memberi tanda kalau mereka baru saja pulang dari medan tempur, sawah atau kebun. Ada juga yang sudah membasuh badan, mungkin di sungai.
"Baru balik, Mir?"
Tetangga yang di samping kiri, yang sudah lebih dulu santai menghabiskan sore di teras rumah, bertanya.
"Iya, bang," jawabnya. "Nyantai?"
"Pucat kau Mir?"
Belum juga dijawab basa-basinya. Giliran tetangga samping kanan yang bertanya. Sudah pula rapi, kain tenun tersampir di bahu dan kopiah menutup kepala. Mungkin hendak ke Masjid.
"Iya, Pak cik." Setelah menoleh. "Mogok tadi. Hehe."