Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semua Salah dalam Kekerasan Perempuan dan Anak

9 Desember 2016   19:33 Diperbarui: 9 Desember 2016   19:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

***

Dari cerita diatas: pengabaian tanggung jawab dari seorang laki-laki terhadap istri dan anak dipertontonkan, diselingi dengan kekerasan terhadap istri dan anak yang disaksikan oleh tetangga mereka. Gelapnya mata dari tanggung jawab ini membuat rantai ketidakbenaran, yaitu dengan menjual diri, selanjutnya melakukan kekerasan terhadap anak –menyiksa dan menjualnya.

Kisah kejam dan tidak masuk akalnya kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah menjadi potret nyata dunia. Memang cerita demikian sudah disaksikan oleh sejarah, dan para penulis sejarah telah menuliskan dengan tinta hitam tebal pada buku-buku yang diharap menjadi pedoman bagi anak cucu di kemudian hari. Dari sekian banyak manusia berakal sehat, mau merubah, tapi belum mampu berbuat banyak. Sebab bisa jadi hari ini ia meneriakkan lantang kampanye, besoknya pada jam yang sama ia telah melanggar isi kampanyenya. Lantas, siapa yang salah? Jawabannya barangkali kita semua salah. Mulai dari kotak kecil, kotak sedang dan kotak yang lebih besar, karena menurut saya dunia ini adalah kotak besar yang berisi kotak-kotak dan seterusnya kotak-kotak berisi kotak-kotak.

Sedikit solusi dari penulis yang awam ini:

Pertama, untuk penanggung jawab. Pada dasarnya semua kita bertanggung jawab, namun ada dua hal yang paling bertanggung jawab, (1) penanggung jawab terdekat: diri sendiri (sudah berakal) dan para lelaki yang ‘memiliki’ dan (2) penanggung jawab karena tugas: pemerintah.

Diri sendiri seharusnya berusaha menjaga diri. Merumuskan setiap tindakan dan jangan mengambil jalan yang kemungkinan tidak diingini. Caranya biasakan membuka mulut pada siapa saja yang berpengalaman dan dipercaya pada tindakan yang akan diambil. Walaupun memang niat pelaku dibungkus rapi dengan besi, tapi dengan banyaknya kita tahu tidak bisa dipungkiri di balik besi yang berlapis-lapis dapat kita lihat. Singkatnya jangan berdiri di puncak bukit jika tidak mau diterpa angin: jangan mengundang.

Para lelaki yang sudah memiliki harus telaten menjaga haknya. Melengkapi kebutuhan mereka: rohani dan jasmani. Jangan pula nantinya ia sendiri yang mencabik-cabik haknya. Disini perlu kita merasa hak yang sudah dipercayakan pada kita tidak bersifat mutlak, akan diminta pertanggungjawaban yang lebih teliti. Bagi orang yang beragama bisa mendalaminya dengan menambah keimanan pada sang Maha. Pada bagian ini kita wajib meneruskan mata rantai kebaikan pada Istri dan anak, selanjutnya mereka –istri dan anak- dianjurkan untuk meneruskan pada istri dan anak-cucu mereka. Begitu seterusnya.

Para pemimpin yang sudah diberi emban tugas hendaknya menjadi penggerak utama pemberantasan, mulai dari dasarnya. Sejatinya penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kurangnya kebutuhan material dan spiritual. Jadi pemimpin yang diberi kewajiban memacah bendung penghalang untuk pemenuhan kebutuhan mereka harus terus menancap alat pemecah bendung. Walaupun semua tau bendungnya terjal dan butuh semua pihak untuk merobohkannya. Meskipun sudah dilakukan, namun ironisnya alat pemecah bendung dan ‘energi’ sudah menjadi rahasia umum juga sering di korupsi.

Kedua,untuk lingkungan. Masyarakat yang tinggal pada suatu permukiman diharapkan mampu mengamalkan prinsip berguna bagi sesama. Pada suku penulis, Gayo, dahulu ada suatu pedoman yang sangat perlu dikembang-amalkan yaitu: Anakku anakmu juga dan anakmu anakku juga. Pedoman ini dimaksud untuk saling menjaga. Jelasnya jika ada seseorang berbuat tidak baik, tanpa memberi kabar pada walinya langsung dicengah, tidak bisa dengan kata-kata bisa saja menampar muka.

Namun, seiring perkembangan zaman pedoman ini telah menjadi cerita basi, tak ada yang mau mengamalkan. Saya kira untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak pendoman tersebut perlu dipatri rapi dalam setiap individu. Untuk mengundang daya tarik mengamalkannya, kita perlu ingat bahwa ‘rezekiku melalui kamu dan sebaliknya’, sebab ada kata-kata yang sering terlontar ‘ngapain ngurus dia, bukan dia ngasih kita makan’.

Jadi, siapa yang salah dalam cerita Kur dan Kay diatas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun