Ringkasan: RUU PKS sama sekali tidak menyebutkan soal zina & LGBT sehingga sangat aneh, rancu, & ambigu sekali kalau RUU PKS dinarasikan sebagai bentuk pelegalan zina & LGBT.
Narasi kontra RUU PKS yang dipakai konservatif muslim berdasarkan opini pembuat artikel menunjukkan kesaamaan pola dengan sesat pikir Slippery Slope fallacy, sesat pikir dimana mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian yang lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali (cocoklogi)
Pertama-tama disclaimer di mana RUU PKS adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, tidak ada hubungannya dengan partai yang satu itu (yup, saya sering salah paham dengan kalimat RUU PKS).
Ok, sering kita simak sejak lama bahwa respon (beberapa) konservatif agama Islam sangat negatif dimana narasinya adalah MELEGALKAN ZINA & LGBT. Jujur awalnya saya tidak terlalu ambil pusing soal itu, tapi semakin kesini saya semakin menyimak narasi ini diputar-putar seperti halnya kaset rusak.
Jadi saya mencoba menyelami soal RUU PKS ini, tapi setelah saya menyelam dan menyimak sekilas saya semakin pusing over 9999 keliling sama orang yang kontra RUU PKS ala muslim konservatif. Kenapa saya semakin pusing? Karena kalau disimak maka tidak akan ditemukan perihal melegalkan LGBT apalagi zina, jadi apa yang terjadi disini? Kalau menurut saya pribadi ini sama halnya dahulu ketika heboh LGBT dinarasikan akan menyebabkan dilegalkannya pedofilia, bestiality, dan fetish-fetish lainnya yang bisa dikategorikan sebagai sesat pikir dengan sebutan "slippery slope fallacy"
Walau saya akui memang ada kesalahan penyampaian informasi pada waktu itu dimana masalah homoseksual hanya fokus ke consent walau pada kenyataannya lebih luas daripada itu sekaligus juga membedakan homoseksual sebagai orientasi seksual tidak sama dengan preferensi seksual (fetish).
Orientasi seksual fokus kepada "ketertarikan seksual baik secara fisik (lahiriah) maupun secara emosional (batiniah)", umumnya orientasi seksual digambarkan sebagai seseorang yang jatuh cinta kepada seseorang yang juga sesama manusia, dan cukup umur dimana consent nya dianggap valid, dan diperbolehkan melakukan kegiatan seksual berdasarkan hukum suatu negara.
Berbeda dengan preferensi seksual preferensi disini lebih merujuk kepada "tindakan". Contohnya ketika makan, ada yang makan memakai sendok garpu, tangan, sumpit, dan lainnya, nah cara memakan dan sesuatu (karena cakupannya luas) nya itu dikategorikan sebagai preferensi. Sehingga untuk masalah seksual bisa digambarkan seperti ini:
- Saya ingin bersetubuh dengan laki-laki umur 20 keatas dengan karakteristik tinggi, badan ok, ekonomi ok, dan lainnya (homoseksual untuk lelaki & heteroseksual untuk wanita. Masuk kategori orientasi seksual karena preferensi yaitu kalimat yang dipertebal masih dalam batas wajar)
- Saya ingin bersetubuh dengan beda jenis yang umurnya dibawah 14 tahun (pedofilia)
- Gimana ya rasanya disetubuhi sama tentakel-tentakel? (bestiality)
- Ingin bersetubuh atau masturbasi menggunakan sex toy (fetish lainnya)
- Dan lainnya
Nah kembali ke masalah slippery slope fallacy. Apa sih slippery slope fallacy itu? Bahasa gampangnya slippery slope fallacy adalah suatu bentuk sesat pikir dimana dengan sengaja menghubungkan suatu event/kejadian dengan kejadian yang lain YANG SEBENARNYA tidak ada hubungannya sama sekali, istilah bekennya "cocoklogi". Contohnya banyak sekali kita temukan di media seperti:
- Media pornografi > konsumen jadi horny/terangsang > Mencari korban untuk bisa disetubuhi (pemerkosaan). Padahal kita tau kalau seseorang horny tidak secara otomatis bawaannya ingin memerkosa orang & juga banyak cara untuk menahan atau mengalihkan rasa terangsang tersebut. Seperti masturbasi misalnya
- Game tembak menembak membuat pemainnya BISA jadi teroris, game bertema gangster & perang BISA membuat pemainnya jadi blangsak. Padahal kita tau bahwa kata BISA itu lebih kepada peluang, bahkan kalau mau disimak di dunia nyata peluang tersebut sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali
- Laki-laki main masak-masakan jadi feminim, perempuan main bola jadi maskulin. Sama halnya seperti kasus diatas dimana tidak ada korelasi yang signifikan dan lebih kepada stigma masyarakat saja
- Dan lainnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H