Masa iddah merupakan salah satu momentum untuk berfikir kembali, melanjutkan cerai, atau kembali dalam kesatuan mahligai rumah tangga, jika berfikir memang itu yang terbaik. Apabila pasangan berniat ingin memperbaiki hubungan itu. Maka syari’at telah memberikan alternatif, yaitu yang dinamakan dengan rujuk. Artikel ini sangat penting, karena terkait dengan teknis bagaimana tata cara rujuk, yang bisa membuat suami dan istri bersatu kembali dalam satu keluarga. Jadi apasih rujuk itu? dan bagaimana teknisnya?
Definisi
Rujuk merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang diambil dari kata raj’ah ( الرجعة ) , dalam bahasa Arab berasal dari ( ورجوعا رجعا -يرجع رجع) , yang bermakna kembali, lawan dari pergi. Dalam KBBI, kata rujuk didefinisikan dengan kembalinya suami pada istri yang dithalak, thalak satu atau dua, saat istri masih dalam masa iddah. Sedangkan secara istilah fiqih didefinisikan dengan: عود الزوجة املطلقة للعصمة من غري جتديد العقد “Mengembalikan istri yang diceraikan, untuk kembali dalam tanggungannya, tanpa harus memperbaharui akad.” Dari definisi ini dapat disimpulkan, bahwa bersatunya kembali suami istri dengan akad yang baru, bukan disebut Rujuk. Namun seorang suami disebut merujuk istrinya, jika masih pada batasan thalak suami dapat merujuknya secara langsung, itu dapat terjadi hanya dalam kesempatan thalak satu dan dua, selama istri masih dalam masa iddah.
Dasar Pernsyari'atan
Para Ulama sepakat bahwa rujuknya suami kepada istrinya setelah menjatuhkan thalak adalah disyari’atkan dalam islam dengan sebab dan hukum tertentu. Diantaranya adalah sebagai berikut: وبعولتهن أحق بردهن ِف ذالك إن أرادوا إصالحا ) البقرة : 228) Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk mereka, bila mereka menginginkan ishlah (perbaikan). (QS. Al-Baqarah: 228) وإذاطللقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن مبعروف أو سرحوهن مبعروف )البقرة : 231) Apabila kamu menthalak istri-istrimu dan sudah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang makruf atau ceraikanlah dengan cara yang ma’ruf. (QS. AlBaqarah : 231) عن أنس, أن النب طلق حفصة تطليقة فأاته جربيل فقال : اي حممد طلقت حفصة و هي صوامة قوامة وهي زوجتك ِف اْلنة؟ فراجعها ) رواه احلاكم) Dari Anas, bahwa Nabi menthalak hafsah dengan thalak satu, lantas Jibril mendatanginya dan berkata: “Ya Muhammad, bagaimana kamu bisa menthalak hafsah, padahal dia seorang yang rajin berpuasa dan shalat malam, serta ia kelak menjadi istrimu di syurga, rujukilah ia. ( HR.Hakim ).
Macam-Macam Rujuk
Ada beberapa macam dan cara rujuk yang disyariatkan, setidaknya ada dua cara rujuk bagi suami kepada istrinya dalam masa iddah, yaitu perkataan dan perbuatan.
Dengan Perkataan
Para Ulama sepakat bahwa rujuk sah dilakukan dengan perkataan, seperti dengan perkataan “raja’tuki” (راجعتك), yang bermakna “ aku merujukmu”. Selain itu, lafadz rujuk ini tidak disyaratkan harus diucapkan kepada istri secara langsung, boleh bagi seorang suami hanya berikrar seorang diri tidak depan istri sambil berikrar “aku telah merujuknnya”. Cukup begitu saja dan sudah sah. Kemudian istri cukup diberitahu bahwa suaminya sudah merujuknya, dan tidak harus menyaksikan ucapan suaminya. Dan dalam ikrar rujuk juga berlaku ucapan yang bersifat kinayah, alias kalimat bersayap dan tidak mesti menggunakan kata rujuk. Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya dalam masa iddah, “dirimu tetap milikku”. Maka kalimat itu sudah cukup untuk jadi rujuk. Bahkan lebih dari, kata rujuk yang diucapkan dengan bercanda sudah dianggap sah berdasarkan hadits: عن أيب هريرة رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا : "ثالث جدهن جد, وهزهلن جد (: النكاح, والطالق و الرجعة" ( رواه الرتمذي و أبو داود و بن ماجه Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda “tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh jadi, dan bila dikatakan dengan candaan juga jadi, yaitu nikah, thalak, dan rujuk. (HR.Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah)
Dengan Perbuatan
Jika Rujuk dilakukan dalam bentuk perbuatan seperti percumbuan atau persetubuhan, para Ulama berbeda pendapat dalam hal keabsahannya :
Madzhab Pertama: Rujuk sah dengan perbuatan Mayoritas Ulama berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan adalah sah, hanya kemudian mereka berbeda berpendapat mengenai tekhnisnya. Pendapat pertama: Mutlak sah dengan perbuatan meski tanpa adanya niat dan sebatas percumbuan. Madzhab Hanafi berpandangan bahwa percumbuan sebelum jima’ sudah termasuk rujuk, terlebih jima’ itu sendiri. maka rujuk itu terjadi meski tidak diiringi dengan niat untuk rujuk di dalam hati. Dan rujuk bisa terjadi meski yang melakukan percumbuan itu adalah istri sendiri tanpa ada penolakan dari suami. Adapun argumentasi mereka adalah qiyas rujuk kepada nikah, kalau dalam nikah saja dibolehkan bercumbu dan jima’, maka begitu juga berlaku kebolehannya dalam rujuk. Pendapat kedua: Rujuk sah dengan niat meskipun sebatas cumbuan Madzhab Maliki sependapat dengan Hanafi, dimana jima’ dan percumbuan sudah bisa membuat Rujuk terjadi. Namun yang membedakan adalah perbuatan itu harus disertai dengan niat untuk rujuk, bahkan jika suami sudah meniatkan dalam hatinya untuk rujuk, meski tidak terjadi percumbuan dan jima’, rujuk pun sudah berlaku. Pendapat ketiga: rujuk sah dengan jima’, bukan percumbuan , Mazhab Hambali berpendapat bahwa rujuk sah dengan perbuatan, tapi hanya dengan persetubuhan saja, sedangkan jika hanya sebatas percumbuan, seperti ciuman, sentuhan dan melihat kemaluan, belum termasuk rujuk.
Madzhab Kedua: Tidak Sah Dengan Perbuatan Secara Mutlak Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perbuatan seperti bercumbu dan berjima’ antara suami istri tidak dapat menjadikan adanya rujuk. Bahkan meski perbuatan itu diiringi dengan niatan dalam hati. Dengan kata lain bahwa rujuk yang sah itu hanya lewat lafadz atau perkataan. Adapun argumentasi mereka ialah bahwa suami yang menjatuhkan thalak pada istrinya adalah berstatus sebagai orang asing (ajnabi), mereka dilarang melakukan percumbuan atau persetubuhan kecuali dengan adanya rujuk sebelumnya. Dan rujuk itu diibaratkan dengan nikah, dimana nikah tidak cukup hanya dengan perbuatan seperti bercumbu dan persetubuhan atau niat saja. Nikah itu butuh akad secara lisan, oleh karena itu, rujuk pun harus dilakukan dengan lisan juga sebagaimana pernikahan, bedanya hanya tidak butuh ijab dan qobul. Oleh karena itu, ketika suami mencumbui istri atau menyetubuhinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu termasuk haram, seperti menyetubuhi wanita asing yang bukan berstatus istrinya.
Syarat Sah Rujuk
Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi agar rujuk kepada istri yang diceraikan menjadi sah:
1) Rujuknya atas Thalak raj’i
Thalak raj’i adalah thalak yang dilakukan tetapi suami masih mempunyai hak untuk kembali kepada istri tanpa harus melakukan akad yang baru. Dan thalak ini hanya berlaku pada thalak pertama dan kedua saja, Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 229.
2) Istri Masih Dalam Masa iddah
Selain masih dalam Thalak kesatu dan kedua, disyaratkan juga sebagai sah nya rujuk harus dalam masa iddah. Dan masa iddah istri berbeda-beda tergantung dengan kondisi saat thalak itu dijatuhkan, sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 228
3) Sudah Dukhul Sebelumnya (Jima’)
Rujuk hanya dapat terjadi, setelah sebelumnya terjadi dukhul, yaitu hubungan badan antara suami istri setelah akad nikah, dimana ketika suami dan istri tidak pernah melakukan jima’, dan suami menceraikan istrinya, maka tidak ada masa iddah, karena ketiadaan masa iddah ini, maka tidak ada ketentuan rujuk. Sebab rujuk hanya disyaratkan hanya dalam masa iddah istri. Namun jika pasangan itu ingin bersatu kembali, maka caranya bukan dengan rujuk, tapi lewat akad nikah yang baru. Ketentuan ini berdasarkan ayat: أييها الذين آمنوا إذا نكحتم املؤمنات ُث طلقتموهن من قيل أن متسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدوهنا فمتعوهن وسرحوهن سراحا مجيال. ) اْلحزاب : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu meminta untuk menyempurnakannya. Maka berikanlah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan sebaikbaiknya. (QS. Al-Ahzab : 49).
4) Bukan Cerai Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan yang sudah terlanjur terjadi, seolah-olah tidak pernah terjadi pernikahan. Sedangkan thalak bukan pembatalan pernikahan, tetapi menyudahi pernikahan yang sudah berlajan. dan dalam fasakh, tidak berlaku adanya iddah, maka istri yang pisah dengan suaminya lewat jalan fasakh ini tidak perlu menjalani masa iddah, sebab iddah yang wajib dijalani hanya berlaku bila terjadi thalak.
5) Bukan Cerai Khulu’
Syarat kelima adalah rujuk sah untuk dilakukan jika bukan cerai lewat khulu’, atau cerai dengan tebusan harta dari istri. Karena jika rujuk bisa dilakukan setelah terjadinya khulu’, maka otomatis khulu’ tidak berarti apa-apa, oleh sebab itu jika suami ingin kembali kepada mantan istrinya setelah terjadinya khulu’ harus dilakukan dengan akad ulang atau pernikahan yang baru.
6) Bukan Rujuk Dengan Syarat
Rujuk dinilai sah jika dilakukan tanpa adanya syarat tertentu, dalam artian bukan rujuk yang digantungkan dengan syarat tertentu. Karenanya, seorang suami harus menyebutkan status rujuk secara pasti tanpa adanya syarat yang mengantung. Bila suami berkata, “aku akan merujukmu jika nanti malam turun hujan” misanya, maka perkataan itu belum bisa dikatakan sebagai rujuk.
7) Syarat Ahliyah
Syarat terakhir agar rujuknya sah adalah status ahliyah, dalam arti, suami yang merujuk berstatus muslim, bukan suami murtad, aqil, bukan terpaksa dan berumur baligh.
Dengan demikian, rujuk merupakan cara yang disyariatkan dalam Islam untuk memulihkan hubungan pernikahan setelah perceraian dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi. Memahami definisi, dasar syariat, macam-macam rujuk, serta syarat-syarat keabsahan rujuk sangat penting bagi pasangan yang ingin memperbaiki dan melanjutkan kembali kehidupan rumah tangga mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!