Permasalahan public trust atau kepercayaan masyarakat memiliki signifikansi yang besar dalam kesuksesan kepemimpinan dan partisipasi di sektor publik (Silalahi, 2011). Bahkan, Silalahi (2011) menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap elit politik dan pemerintah berfungsi sebagai penyatuan dan penjaga integritas bangsa, negara, dan masyarakat. Kepercayaan dan saling percaya menciptakan ikatan emosional yang menyatukan pemimpin dan para pengikutnya. Kepercayaan warga (masyarakat) terhadap pemimpin (pejabat publik, baik politisi maupun birokrat) bahkan dianggap sebagai indikator legitimasi kepemimpinan di sektor publik.
Pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memotivasi dan mempengaruhi orang lain sehingga mau melakukan sesuatu atau bersikap untuk mencapai tujuan bersama melebihi orang-orang tersebut mempengaruhi dirinya. Kepemimpinan merupakan seni dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bertindak sesuai dengan yang diharapkan untuk mencapai tujuan organisasi.Â
Dalam era ketidakpastian dan kompleksitas yang melibatkan sistem peradilan, tugas untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (public trust) menjadi semakin mendesak. Kepercayaan publik terhadap institusi peradilan merupakan fondasi utama bagi keberlanjutan sistem hukum sebuah negara. Kepemimpinan transformatif dapat memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan publik ini. Kepemimpinan transformatif adalah tipe kepemimpinan di mana seorang pemimpin bekerja dengan tim atau pengikutnya melampaui kepentingan diri sendiri untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan, menciptakan visi untuk memandu perubahan tersebut, dan mempengaruhi, menginspirasi, serta melaksanakan perubahan tersebut bersama anggota kelompok yang berkomitmen. Gaya kepemimpinan ini menginspirasi para pengikutnya untuk berusaha melebihi harapan yang diperlukan untuk bekerja menuju visi bersama. Menurut Stephen P. Robbins & Timothy A.Judge, kepemimpinan transformatif (transformational leaders) adalah tipe pemimpin yang mengarahkan atau memotivasi para pengikutnya pada tujuan yang telah ditetapkan dengan cara memperjelas peran dan tugas anggotanya.Â
Membangun dan merawat kepercayaan publik (public trust) bukanlah sekadar tugas, melainkan sebuah tantangan monumental yang menuntut integritas, transparansi, dan akuntabilitas dari para pemegang kekuasaan, khususnya di ranah peradilan. Salah satu tokoh sentral dalam upaya ini adalah ST Burhanuddin. Sanitiar Burhanuddin atau akrab dengan ST Burhanuddin merupakan Jaksa Agung pada kabinet Jilid II Joko Widodo.Â
Dalam menjalani tanggung jawab monumental membangun dan merawat kepercayaan publik, Jaksa Agung ST Burhanuddin menghadapi tantangan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung. Salah satu penyebab utama rendahnya tingkat kepercayaan tersebut adalah ketidaktransparanan dalam penyelesaian perkara peradilan. Menyikapi hal ini, ST Burhanuddin tidak hanya melihatnya sebagai hambatan, melainkan sebagai peluang untuk merumuskan solusi konkret. Dengan menginisiasi konsep restorative justice sejak awal masa jabatannya, Jaksa Agung bertujuan tidak hanya memperbaiki sistem penegakan hukum, tetapi juga membangun citra Kejaksaan sebagai institusi yang terbuka dan transparan. Inisiatif ini menjadi landasan kokoh dalam upaya mengatasi ketidakpercayaan masyarakat dan mengarah pada transformasi positif dalam dunia peradilan. Kepemimpinan transformatif, seperti yang ditunjukkan oleh ST Burhanuddin, melibatkan inisiatif untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan, menciptakan visi, dan mempengaruhi, menginspirasi, serta melaksanakan perubahan bersama anggota kelompok yang berkomitmen, dengan tujuan untuk mencapai transformasi positif dalam organisasi atau institusi.Â
Paradigma keadilan restoratif dianggap sebagai solusi untuk permasalahan pidana yang dapat diimplementasikan di Indonesia. Secara umum, keadilan restoratif mengacu pada kesadaran pelaku terhadap kesalahan yang dilakukannya dan tanggung jawab yang tetap diemban terhadap perilakunya. Kesadaran ini bertujuan untuk memulihkan hubungan antara dua pihak, yaitu korban dan pelaku. Dalam upaya mencapai hal tersebut, diterapkan metode musyawarah yang melibatkan korban dan masyarakat. Pendekatan keadilan restoratif ini memiliki tujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula, dan dapat menjadi alternatif dalam penyelesaian tindak pidana, yang berarti bahwa penyelesaian tersebut tidak selalu bersifat retributif atau bersifat pembalasan.
Sejak awal implementasi sistem peradilan pidana, baik di tingkat nasional maupun internasional, Jaksa Agung telah menguraikan bahwa pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pada awalnya cenderung bersifat retributif, dengan penekanan pada penghukuman terhadap pelaku. Pendekatan penghukuman ini memiliki tujuan untuk memberikan pembalasan dan memenuhi tuntutan kemarahan publik yang muncul akibat perbuatan pelaku. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan paradigma yang menawarkan alternatif untuk menggantikan konsep keadilan berbasis pembalasan. Alternatif ini menitikberatkan pada pentingnya mencari solusi untuk memperbaiki kondisi, merestorasi hubungan antara pihak, dan mengembalikan harmoni dalam masyarakat, sambil tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku, yang dikenal sebagai restorative justice atau keadilan restoratif.
Jaksa Agung menjelaskan bahwa sejalan dengan perkembangan nilai-nilai hidup dan keadilan dalam masyarakat, saat ini, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terjadi pertumbuhan konsep restorative justice sebagai opsi penyelesaian perkara. Pendekatan ini lebih menekankan pentingnya menemukan solusi untuk memulihkan keadaan korban, merestorasi hubungan antara pihak, dan mengembalikan harmoni dalam masyarakat, sembari tetap menegaskan kewajiban pertanggungjawaban bagi pelaku.
Keadilan restoratif dianggap sebagai solusi di mana perhatian utama diberikan pada kepentingan korban dalam penyelesaian perkara. Dalam konteks ini, fokus utama adalah memperbaiki kondisi korban dan memberikan pengampunan, yang menjadi faktor penentu dalam penyelesaian perkara. Selain itu, pendekatan ini tetap mempertimbangkan situasi khusus pelaku kejahatan sebagai pertimbangan dalam proses penyelesaian perkara. Terkait dengan hal ini, Jaksa Agung menyatakan bahwa penegakan hukum melalui pendekatan restorative justice yang diimplementasikan oleh Kejaksaan memiliki ciri khas yang merupakan pengembangan dari konsep restorative justice itu sendiri, dengan tujuan mencakup nilai rehabilitatif dan perbaikan bagi pelaku kejahatan.