Banyak yang bilang, enak banget jadi guru yang sudah diangkat PNS (Pegawai Negeri Sipil), banyak liburannya, gaji tetap dibayarkan.
Ya kalau tugasnya di wilayah perkotaan. Akses mudah, murid sudah terdidik secara sendirinya, fasilitas lengkap, sarana dan prasarana pasti diperhatikan dinas terkait.
Tapi coba kalau sepertiku, diangkat jadi guru di sekolah yang berada di pelosok. Bukannya merasa enak, yang ada makan hati, capek lahir batin. Beruntung masih terlihat jag-jag waringkas hingga kini, padahal dalemamnya sudah banyak penyakit komplikasi. Paru-paru, jantung, dan kondisi tubuh lemah mulai mudah ngedrop.
Bagaimana tidak demikian, jika setiap hari kerja, saya harus pulang pergi ke sekolah dengan jarak sekitar satu jam kendaraan, dengan kondisi jalan yang rusak parah. Badan setiap hari terasa remuk karena jalan berbatu dan berlubang seperti sungai kekeringan membuat mengendarai sepeda motor seperti naik kerbau edan.
Belum jika kondisi cuaca buruk, kondisi jalan semakin membahayakan. Saya beberapa kali terpeleset, terjatuh hingga pernah tangan kiri ini mengalami patah tulang. Sejak itu mengendarai sepeda motor jadi tidak bisa maksimal. Ngarayap jadi alternatif pulang pergi ke sekolah meski perjalanan jadi lebih lama. Tak heran saya sering kesiangan sampai di sekolah.
Satu yang saya sukai bertugas di sekolah yang berada di perbatasan antara Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung ini adalah suasana alam yang masih asri dan pola pikir masyarakat serta anak didik yang masih sederhana bahkan polos.
Hal itu sangat susah didapatkan jika kita tinggal di wilayah perkotaan, bukan? Karena semua itu pastinya tidak akan bisa dialami oleh setiap orang.
Suasana petani membajak sawah dengan kerbau, masih sering saya temukan saat dalam perjalanan menuju ke sekolah. Di sini kerbau belum semua tergantikan dengan traktor.
Suasana pagi yang berkabut, memandang tak putusnya jatuhan air yang tiada henti dari air terjun yang cukup banyak dijumpai di lereng bukit yang membentang di kecamatan Pasirkuda ini, sungguh menjadi sebuah pemandangan alam yang sangat bernilai.
Tak heran jika rumah Abah Jajang yang bertetangga desa dengan lokasi dimana sekolah tempat saya bertugas berada sampai ada yang menawar hingga milyaran rupiah. Bukankah pemandangan serasa di surga itu memang tak mungkin dimiliki oleh orang kota?
Satu yang membuat saya bertahan mengajar di sekolah perbatasan ini mungkin karena panggilan hati. Sedih rasanya jika setiap ada pengangkatan guru yang ditugaskan di sekolah ini, beberapa tahun kemudian pindah kembali ke kota. Bagi saya, justru tidak tega meninggalkan sorot mata anak didik yang mengharapkan setiap tenaga pengajar bisa betah dan mengamalkan ilmunya untuk mereka.
Saat pandemi melanda keinginan untuk pindah tugas semakin sirna. Bagaimana tidak, saat itu belum ada jaringan internet masuk ke sekolah. Sementara tuntutan dari kantor dinas, anak-anak harus bisa belajar secara online. Kondisi murid tidak semua mampu memiliki smartphone. Akhirnya kami para guru yang mengalah mengunjungi murid yang tidak terjangkau itu.
Hingga akhirnya jeritan hati dan perjuangan kami mulai didengar. Bantuan gadget android hingga kuota Internet Provider perlahan mulai sampai. Dinas dan instansi terkait memfasilitasi sekolah dengan jaringan IndiHome dari Telkom Indonesia.
Setelah wilayah perbatasan ini bisa diakses dengan internet, tidak disangka justru semakin banyak orang kota yang berkunjung ke daerah Pasirkuda untuk menikmati keindahan alam khususnya air terjunnya.
Setelah gubernur Jawa Barat Kang Emil datang ke Pasirkuda mengunjungi rumah Abah Jajang, saat libur lebaran kemarin dan hingga sekarang masih banyak pengunjung yang berdatangan.
Meski kondisi jalan di wilayah Pasirkuda masih hancur namun demi konten mereka rela menempuh perjalanan berat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H