Tak heran jika rumah Abah Jajang yang bertetangga desa dengan lokasi dimana sekolah tempat saya bertugas berada sampai ada yang menawar hingga milyaran rupiah. Bukankah pemandangan serasa di surga itu memang tak mungkin dimiliki oleh orang kota?
Satu yang membuat saya bertahan mengajar di sekolah perbatasan ini mungkin karena panggilan hati. Sedih rasanya jika setiap ada pengangkatan guru yang ditugaskan di sekolah ini, beberapa tahun kemudian pindah kembali ke kota. Bagi saya, justru tidak tega meninggalkan sorot mata anak didik yang mengharapkan setiap tenaga pengajar bisa betah dan mengamalkan ilmunya untuk mereka.
Saat pandemi melanda keinginan untuk pindah tugas semakin sirna. Bagaimana tidak, saat itu belum ada jaringan internet masuk ke sekolah. Sementara tuntutan dari kantor dinas, anak-anak harus bisa belajar secara online. Kondisi murid tidak semua mampu memiliki smartphone. Akhirnya kami para guru yang mengalah mengunjungi murid yang tidak terjangkau itu.
Hingga akhirnya jeritan hati dan perjuangan kami mulai didengar. Bantuan gadget android hingga kuota Internet Provider perlahan mulai sampai. Dinas dan instansi terkait memfasilitasi sekolah dengan jaringan IndiHome dari Telkom Indonesia.
Setelah wilayah perbatasan ini bisa diakses dengan internet, tidak disangka justru semakin banyak orang kota yang berkunjung ke daerah Pasirkuda untuk menikmati keindahan alam khususnya air terjunnya.
Setelah gubernur Jawa Barat Kang Emil datang ke Pasirkuda mengunjungi rumah Abah Jajang, saat libur lebaran kemarin dan hingga sekarang masih banyak pengunjung yang berdatangan.
Meski kondisi jalan di wilayah Pasirkuda masih hancur namun demi konten mereka rela menempuh perjalanan berat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H