Kalau boleh jujur, nasib jadi pengajar di pelosok, sungguh jauh dari sejahtera. Kalaupun bisa mutasi ke kota, harus berani mengeluarkan biaya, serta mampu menyingkirkan ancaman dari berbagai pihak.
Hari ini seharusnya sekolah dan kegiatan yang bersifat berada dalam kerumunan sekelompok orang mulai dihentikan, sesuai dengan surat edaran dari Gubernur, bahkan Dinas Pendidikan Kab. Cianjur, tempat saya tinggal. Sampai Presiden pun menginstruksikan untuk bekerja, belajar dan beribadah di rumah.
Namun itu jadi pengecualian khususnya di beberapa sekolah tempat saya tinggal. Senin ini justru ulangan tetap diselenggarakan. Mau tidak mau semua pengajar harus tetap bekerja.
Beberapa siswa yang biasanya tidak masuk, kali ini berhasil kami paksa untuk hadir. Berbagai motivasi secara hati ke hati khususnya dari saya sendiri dijadikan jurus supaya mereka, anak santri sekaligus siswa sekolah lanjutan tingkat atas ini berhasil mendapatkan kelulusan.
"Kalau sudah memiliki tanda kelulusan, kalian bisa bekerja ke kota, atau mau buka usaha sendiri juga jadi lebih mudah." Pancing saya beberapa hari sebelum hari H ujian.
"Kerja di kota lagi libur Pak, disuruh ikut demo saja." Kata seorang siswa yang terkenal cukup berani. Ketika saya tanya tahu dari mana, jawabnya dari kakaknya dan orang kampung yang banyak merantau jadi buruh pabrik di kota. Oh pantas.
Sambil menunggu jam ujian selesai dari satu pelajaran ke pelajaran selanjutnya sore tadi saya ajak ngobrol siswa itu yang kebetulan ia sudah selesai lebih dahulu mengerjakan soal ujian dibanding teman-temannya.
Saya tanya rencana setelah lulus nanti mau ke mana. Jawabnya diluar dugaan. Ia mau jadi tukang ojek saja!
"Tidak ingin bekerja ke kota ikut saudara?"
"Saya mau kerja sejahtera saja di kampung, Pak. Hehehe!" jawabnya sambil berseloroh. "Bisa kan Pak?"
"Bisa banget. Emangnya kerja di kota tidak sejahtera?"