Kampung adat Cireundeu yang berada di Leuwigajah Cihami, sudah resmi menjadi Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Kepa) yang sangat unik. Disaat masyarakat Indonesia pada umumnya mengaku belum makan kalau belum menyuapkan nasi, masyarakat Cireundeu justru sangat pantang mengonsumsi olahan nasi serta apapun kekayaan kuliner yang diolah berbahan dasar beras.
Tradisi tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok sudah dijalankan sejak 101 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1918 di mana saat itu kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya sangat melarat karena penjajahan bangsa Belanda.
Kompeni tidak hanya menjajah kemerdekaan tetapi juga menjajah perut masyarakat. Hasil panen rakyat khususnya beras diangkut semua tidak bersisa. Rakyat hanya bisa gigit jari dan mengganjal perut dengan kekayaan alam sisa yang masih bisa dimakan.
Dipimpin sesepuh Aki Ali, gerakan tidak mengonsumsi nasi disepakati oleh seluruh masyarakat kampung enam tahun kemudian atau tahun 1924 hingga saat ini. Tidak makan nasi dan olahan turunan dari beras lainnya mereka ganti dengan olahan singkong sebagai makanan pokok.
Sebab itu masyarakat kampung adat Cireundeu terkenal dengan kepiawaiannya dalam mengolah beras yang terbuat dari singkong yang disebut dengan "rasi".
Untuk mendapatkan rasi yang berkualitas melalui berbagai seleksi alam, masyarakat Cireundeu memiliki singkong unggulan jenis Garnawis dan Karihkil yang masa tanam hingga masa panen memerlukan waktu sekitar satu tahun.
Kalau ada warga Cirendeu yang sengaja ataupun tidak sengaja mengonsumsi nasi, akan ada sanksi sosial terhadap yang bersangkutan sebagai warga yang tidak patuh terhadap adat istiadat.
Kalau ada warga yang merantau ke luar Cirendeu dan tidak bisa mengelak dari makan nasi maka sesepuh akan mengadakan upacara adat untuk menetralisirnya. Upacara adat itu dilakukan di Hutan Salam yang jika sedang cuaca bagus kita bisa melihat pemandangan kelap kelip cahaya kota Bandung dan sekitarnya dari Puncak Salam itu.