gaulislamedisi 196/tahun ke-4 (23 Sya’ban 1432 H/ 25 Juli 2011) Ampun dah negeri kita ini, tak putus dicekik konflik dan tak reda dirundung sengsara. Sejak sebelum kemerdekaan, ketika jaman awal-awal kemerdekaan, hingga jaman kiwari. Konflik selalu ada dan tetap menjadi bagian dari hidup hampir seluruh rakyat negeri ini. Jaman penjajahan nenek moyang kita hidup susah bin sulit. Saat awal-awal kemerdekaan konflik melanda hampir di seluruh pelosok negeri. Berbagai kepentingan policik, eh politik menghiasi perjalanan sejarah negeri ini. Berganti tahun, berganti pemimpin, namun tetap saja konflik tidak bisa dipadamkan. Musim berganti, cuaca tak selalu sama, rezim satu berganti dengan rezjim lainnya, pemimpin satu lengser pemimpin lainnya menggantikan, tetapi resah gelisah terus merajam pikiran dan perasaan rakyat jelata di seluruh negeri menghadapi kenyataan getirnya kehidupan ekonomi mereka. Harga bahan pokok melonjak naik cepat, apalagi menjelang bulan puasa dan lebaran. Bahan bakar minyak (BBM) di beberapa pelosok langka.Akibatnya, harganya juga ikutan meroket tajam. Biaya pendidikan sangat mahal, biaya kesehatan nyaris tak terbeli kantong kempes rakyat miskin. Menyedihkan. Padahal dalam waktu yang bersamaan, elit politik saling sikut kepentingan, saling serang demi rasa aman diri dan kelompoknya. Korupsi seperti wabah yang merajalela dari tingkat atas dan mengalir deras hingga tingkat pegawai dan lembaga rendahan. Ironi yang tak kunjung berhenti. Rakyat miskin sibuk mikirin nasibnya esok hari, yang masih ragu apakah masih bisa makan atau tidak, tetapi para elit partai dan penguasa serta pengusaha sibuk mikirin agar harta tak halalnya tak tersentuh lembaga hukum. Orang-orang model begini tak perlu pusing mikirin makan, karena yang jadi fokus perhatiannya, bagaimana bisa menimbun miliran rupiah demi memberi makan oknum penegak hukum agar mau mendukungnya, agar mau melindunginya dari jeratan hukum. Lihatlah Gayus, tengoklah Nazaruddin. Kini mereka jadi selebritis berlabel koruptor. Insya Allah yang lainnya juga akan segera menyusul menjadi bintang utama. Tunggu saja tanggal mainnya dalam panggung sandiwara berikutnya jika kondisi kehidupan seperti ini terus. Bro en Sis, gaulislam edisi 196, yang juga edisi cetaknya mulai terbit lagi seiring kamu masuk sekolah, sengaja mengangkat tema ini karena sudah saking muaknya dengan kondisi negeri ini. Kamu yang peka dan peduli dengan kondisi negeri ini, saya yakin memiliki pemikiran dan perasaan yang sama bahwa negeri ini seperti sudah babak belur dihantam berbagai persoalan: hukum, sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, politik, pemerintahan, peradilan yang tak adil dan sejenisnya. Kita sudah bosan dengan kondisi ini. Salah satu cara adalah diungkapkan melalui tulisan. Semoga kamu bisa menerima. Toh, ini adalah masalah remaja juga. Kau nggak boleh berpaling dari persoalan ini hanya karena kamu masih remaja. Nggak lah. Kamu juga tinggal di sini, menjadi warga negara negeri ini. Jika warga negara yang lain udah nggak waras, maka yang masih waras ngingetin agar mereka kembali waras. Jangan mau jadi edan semua! (sori bahasanya rada pedes, meski nggak dicampur sambal saus). Sobat muda muslim, sumpah serapah nggak menyelesaikan masalah. Diam juga bukan pilihan tepat. Lalu bagaimana sikap kita? Cuma menulis saja? Cuma berkoar-koar di jalanan saat demo? Hmm… kamu boleh melakukan apa saja selama itu benar dan baik menurut ajaran Islam. Jangan diam, karena diam berarti menyetujui kondisi ini. Jangan pula jadi orang yang cuek karena bisa jadi itu level tertentu dari upaya menghindar dari masalah. Sebaliknya, libatkan dirimu dalam upaya menyelesaikan benang kusut kehidupan di negeri ini, setidaknya dengan ikut mikirin. Alangkah lucunya negeri ini Kamu pernah nonton film yang judulnya saya pake dalam subjudul gaulislam edisi ini? Yup, film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” atau dalam bahasa negerinya Wayne Rooney: How Funny (This Country Is). Film garapan sutradara Deddy Mizwar yang skenarionya ditulis Musfar Yasin tersebut subur dengan kritik sosial. Rakyat makin banyak yang miskin tapi ternyata bejibun oknum pejabat dan oknum aparat berwenang yang sangat serakah menumpuk harta untuk diri dan keluarga, bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Ini bukan hanya terjadi dalam film itu. Tetapi kenyataan itu sudah di depan hidung dan mata kepala kita sendiri. Sehingga bau busuk yang menyengat dari kelakuan mereka bisa dilihat langsung. Nampak nyata dan tegak jelas tanpa perlu diperbesar dengan kekuatan lensa maksimum. Bro en Sis, semoga kamu masih ingat kasus anak SD dan ibunya yang sempat diusir warga sekitar gara-gara menyampaikan informasi bahwa telah terjadi contek massal di sebuah SD di Surabaya, Jawa Timur. Lucu dan sekaligus aneh. Kejujuran harganya begitu mahal, sehingga harus ditebus dengan teror dari pihak sekolah dan warga lainnya yang kecurangannya terungkap. Ternyata kita harus mengurut dada karena masih banyak orang yang menginginkan cara curang ketimbang kejujuran. Seorang kawan di sebuah mailing list juga bercerita, anaknya yang SMP dan ikut UN, tidak mau menerima tawaran agar soal ujian dijawab oleh pengawas/gurunya. Ia bersikeras menyelesaikan soal ujian sesuai kemampuannya. Padahal, banyak kawannya yang menyerahkan lembar jawabannya agar bisa diisi oleh sang guru. Tetapi karena dianggap lama, padahal masih tersisa waktu untuk mengerjakan soal, malah lembar jawabannya direbut sang guru dan dikerjakan oleh gurunya. Dia kecewa dan gondok. Nah lho. Percuma belajar di sekolah dong, jika akhirnya lulus dengan cara curang. Kenapa gurunya harus menjawab soal ujian muridnya? Bukankah itu pelecehan terhadap kemampuan muridnya? Hmm.. berpikirnya bukan begitu, Bro. Demi sebuah prestise sekolah. Iya, sebab kalo banyak siswanya yang nggak lulus UN kan bukan sekolah unggulan. Alangkah lucunya negeri ini. Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, nggak kalah lucu dan anehnya adalah ketika pisau hukum tumpulnya ke atas. Pisau hukum hanya tajam ke bawah, berani menyayat dan bahkan menusuk kepada rakyat jelata. Sementara para koruptor kelas paus sulit ditikam pisau hukum karena bisa jadi pisau hukumnya sudah dibeli dan malah ditodongkan kepada oknum hakim, jaksa dan polisi sembari mengimingi-imingi bergepok-gepok duit bergambar Bung Karno dan Bung Hatta. Aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib. ISLAM sebagai solusi Sebenarnya masih banyak orang, termasuk kaum muslimin sendiri yang kadang menertawakan kalo Islam dijadikan solusi atas semua problem kehidupan yang ada. Tapi saya merasa yakin bahwa insya Allah ketika Islam diterapkan sebagai ideologi negara, kehidupan umat manusia akan aman, tenteram dan damai. Penuh barokah dan berorientasi akhirat. Dunia yang dikejar hanya seperlunya dan bukan tujuan utama. Akidah dan syariat Islam akan mengarahkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang diridhoi Allah Swt. Meski demikian, perjalanan menuju ke sana bukan hal yang mudah. Namun jika kita memiliki tekad kuat dan istiqomah dalam dakwah dan perjuangan, bukan tak mungkin akan mempercepat sistem kapitalisme untuk segera menggali lubang kuburnya sendiri karena sudah gagal menyelamatkan manusia dari problem kehidupannya. Dan, problem kehidupan tersebut memang hasil produk peradaban kapitalisme dengan instrumen politiknya bernama demokrasi yang kini dijadikan sistem kehidupan di banyak negara termasuk di negeri ini. Waduh, serius amat ya? Hehehe… sekali-kali serius dong Bro en Sis. Lagian apa nggak bosen kalo masalah remaja yang dibahas cuma musik, pacaran, pergaulan, pertemanan, dan problem jati diri? Sekali-kali mikirin kondisi umat manusia kan lebih oke. Tambah wawasan. Nah, kalo gitu apa solusi Islam untuk mengatasi problem kehidupan saat ini? Perubahan! Hah? Hanya dengan perubahan? Ngimpi kali ya? Hehehe.. jangan nyolot dulu dong. Kamu emangnya nggak mau berubah dalam hidup? Pengennya gini-gini aja? Yakinlah bahwa setiap manusia rindu dan berusaha mewujudkan perubahan hidupnya: dari miskin jadi kaya; dari bodoh jadi pinter, dari pegawai biasa jadi manager, dari pedagang biasa jadi pemilik perusahaan besar. Kalo kita suka perubahan untuk hal-hal duniawi itu, apa nggak kepikiran kita berubah untuk urusan akhirat kita juga? Misalnya, dari sering maksiat menjadi ahli ibadah, dari tukang bohong menjadi pejuang kejujuran, tadinya berakhlak buruk ingin berubah jadi akhlak yang mulia. Termasuk tentu saja, kita ingin berubah dari kehidupan yang gelap menjadi terang. Dari cengkraman kapitalisme-sekularisme yang sudah menyengsarakan menjadi hidup sejahtera dengan syariat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Ssst.. kalo baca istilah Khilafah Islamiyah kayaknya pikiran kamu langsung konek ke sebuah gerakan dakwah tertentu yang identik dengan istilah ini. Salah besar tuh. Kaum muslimin, termasuk kamu, seharusnya memperjuangkannya. Dalam kitab Fiqh Islam pada Bab XV, karya H. Sulaiman Rasjid saja, yang dijadikan rujukan di beberapa sekolah berbasis agama ada kok pembahasannya. So, jangan asal nuduh aja karena sejatinya masalah tersebut sudah dibahas para ulama sejak lama. Ooh, jadi solusinya adalah menerapkan syariat Islam untuk mengganti sistem yang ada sekarang? Tepat! Itu pun kalo kamu dan kaum muslimin semua nggak mau terus dicekik konflik dan didera nestapa sepanjang hayat. Gimana? [solihin: www.osolihin.wordpress.com]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H