Saya teringat sebuah pengalaman semasa novisiat. Ada kebiasaan melakukan corectio fraterna sekali dalam sebulan. Dalam corectio fraterna ini setiap orang berhak memberikan penilaian terhadap saya mulai dari hal-hal yang baik hingga hal-hal yang tidak baik. Pada waktu itu,ketika tiba tanggal pelaksanaan cectio fraterna hati saya selalu dag-dig-dug. Banyak asumsi yang muncul dalam pemikiran saya. Mereka akan berkata apa tentangku. Kira-kira demikian bentuk kecemasannya.Â
Suatu waktu dalam pelaksanaan corectio fraterna saya merasa sedih dan kecewa. Karena dari beberapa teman saya mendapatkan penilaian yang tidak baik. Dan pada saat itu saya merasa berakhirlah sudah penggilan saya sebagai seorang biarawati. Karena penilaian teman-teman terhadap saya merupakan sesuatu bukti yang kongkrit bagi seorang magistra.
Dua hari setelah corectio fraterna saya bimbingan dengan salah seorang magistra novisiat ( pembimbing rohani saya pada waktu itu). Dalam bimbingan itu semua hal yang baik dan kurang baik dipaparkan kembali. Hal yang baik itu tidak terlalu lama dibahas Hehehehe. Akan tetapi hal yang kurang baik itu menjadi pembahasan yang panjang. Satu pertanyaan yang diberikan pembimbing kepada saya waktu itu. Tapi pertanyaan itu selalu mengusikku kala melakukan hal yang kurang baik. Apakah itu perlu dipertahankan ? Bagaimana menurutmu,renungkan dan refleksikan !
Waktu itu sebelum saya mengikrarkan kaul perdana,saya sempat merasa down dan tidak ingin melanjutkan pilihan saya. Karena saya merasa tak layak menjadi seorang abdi apalagi pelayan . Karena penilaian teman-teman tadi membuat saya tidak yakin dengan pilihanku pada waktu itu. Tapi dalam doa saya selalu sampaiakan begini " Tuhan,jika pada saat ini aku gagal,apakah Engkau akan membiarkan aku begini saja ? Bukankah Engkau yang memanggilku ? ". Dan dalam perjalanan waktu saya merasakan jawaban Tuhan atas doa saya. Saya diberi kesempatan untuk mengikrarkan kaul perdana dan hingga saat ini kuasa doa itu masih saya rasakan.
 Dari pengalaman itu muncul refleksi yang sangat menarik . Menarik untuk dikenang dan menarik untuk direnungkan kembali. Bahwasanya Gagal itu adalah pengalaman yang sangat manusiawi. Dialami oleh setiap orang, tidak peduli latar belakang, keahlian, atau kisah hidup. Bahkan gagal secara spektakuler setidaknya pernah terjadi  sekali dalam hidup setiap orang.
Saya sendiri pernah mengalami kemunduran besar dalam hidup. Rasa frustrasi berkecamuk. Percaya diri hilang. Bahkan rasa malu dan bersalah terus menjadi teman hidupku untuk beberapa kesempatan. Datang silih berganti. Pekerjaan yang tampaknya ringan tapi karena diembat dengan rasa malu dan gagal semuanya menjadi berat. Nyaris gelap. Tidak ada masa depan.
Bagi saya adalah sesuatu yang mustahil jika bertahan pada perasaan itu.  Saya harus membuat suatu prinsip Bagaimana sayabisa lebih berkembang dan  bergerak maju? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting. Saya tidak harus berpura-pura gagal atau mengabaikan rasa frustrasi yang muncul ketika suatu tujuan tidak tercapai.
Alih-alih menjauhkan frustrasi dan emosi yang datang bersama kemunduran, saya mulai bertanya dan mencari tahu tentang apa yang baik dan yang positif yang masih bertahan/ada pada diriku dan itu saya anggap sebagai suatu titik terang yang bersinar dari diri saya.
Nah, dari situlah saya bergerak maju. Saya punya prinsip, "Lakukan yang terbaik yang bisa anda lakukan sampai anda tahu lebih baik. Maka ketika anda tahu lebih baik, lakukan itu lebih baik lagi".
Di samping itu, buanglah beberapa karakter kunci yang membuat kita terbelenggu. Apa saja itu ? Evaluasi diri yang terlalu negatif, kesadaran diri yang berlebihan, harga diri yang rendah, rasa takut akan penilaian dan penolakan. Penilaian ini membuat diri semakin kerdil dan kering.Â
Ingat !!! Sebab orang yang gagal sering membuat perbandingan sosial yang tidak realistis, mengadu domba diri dengan orang yang lebih baik darinya atau orang yang lebih prestisius dari dirinya.