Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yang Menggelitik dari Penangkapan Bambang Widjojanto

27 Januari 2015   02:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:19 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa pentingnya penagkapan Bambang Widjojanto di tengah cecarut pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri? Banyak yang berpendapat bila  penangkapan Bambang sebagai bentuk serangan terhadap KPK. Tapi, jika melihat pemberitaan sehari sebelum terjadinya penangkapan dan akibat atas penangkapan tersebut, maka pendapat yang mengatakan penangkapan Bareskrim terhadap Bambang sebagai bentuk perlawanan terhadap KPK patut dipikirkan ulang.

Fakta pertama, adalah pengakuan Hasto Kristianto pada 22 Jauari 2015 yang membenarkan artikel “Rumah Kaca Abraham Samad”. Pada artikel yang ditayangkan di Kompasiana tersebut tertulis adanya enam kali pertemuan antara Ketua KPK Abraham Samad dengan petinggi PDIP terkait pancalonan Samad sebagai cawapres Jokowi. Seperti yang diakuii Hasto, Samad melobi petinggi PDIP dengan menggunakan pengaruhnya sebagai ketua KPK.

Sekalipun kedekatan Samad dengan Jokowi tersirat dalam beberapa momen jelang Pilpres 2014, namun pengakuan Hasto di tengah bergolaknya situasi politik nasional pasca pencalonan Budi Gunawan memiliki nilai tambah tersendiri. Pengakuan Hasto ini kemudian disambut oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman dengan mengatakan Samad telah melakukan pelanggaran serius, bahkan sebagai korupsi terbesar. Tidak hanya itu, dalam Metro Hari Ini, mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyarankan agar KPK pro-aktif untuk bertanya kepada PDIP. Abdullah mengatakan jika dalam lobi politik tersebut memengaruhi kasus-kasus yang tengah ditangani oleh KPK, maka Samad dapat dipidanakan.

Pasca pengakuan Hasto, Samad yang awalnya membantah “Rumah Kaca Abraham Samad” menjadi sulit ditemui wartawan. Peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada Chandra Hamzah yang disebut Muhammad Nazaruddin melakukan lima kali pertemuan dengan pengurus Partai Demokrat. Chanda yang awalnya membantah, terpaksa mengaku setelah Nazar mengatakan memiliki rekaman CCTV pertemuannya dengan Chandra. Sama dengan pengakuan Nazar, pembeberan Hasto pun memiliki dampak yang mengguncang bagi KPK.

Tetapi, guncangan di tubuh KPK hanya berlangsung kurang dari 24 jam setelah pada keesokan harinya, Jumat 23 Januari, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap oleh satuan Bareskrim Polri. Bambang ditangkap atas laporan masyarakat terkait pengarahan kesaksian palsu pada sidang sengketa pemilu Kotawaringin tahun 2010.

Penangkapan Bambang berhasil menyedot perhatian publik dan mengalihkan isu “Rumah Kaca Abraham Samad”. Ada beberapa penyebab yang menyebabkan teralihnya isu. Pertama, penangkapan Bambang diwarnai aksi dramatisasi, mulai dari pemborgolan sampai kata “plester’ yang diucapkan petugas yang membawa Bambang ke Bareskrim. Kedua, masivnya aksi dukungan publik terhadap KPK. Masyarakat memberikan dukungannya kepada KPK dengan berbagai cara, mulai dari melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung KPK dan seantero negeri sampai menyemarakkan sosial media dengan berbagai status, kicauan, foto, avatar, dan lainnya. Ditambah lagi media yang terus menyoroti penangkapan Bambang sejak ditangkap sampai malam harinya.

Ditingkapnya Bambang oleh aparat Polri menggugah ingatan publik akan perseteruan “Cicak Vs Buaya”. Opini jika Bambang tengah dikriminalisasi semakin menggerakkan dukungan masyarakat kepada KPK. Mendadak dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pengakuan Hasto, KPK yang sudah tersudutkan berbalik posisi menjadi malaikat. Di sisi lain, akibat dari penangkapan tersebut Polri dihujat habis-habisan. Polisi “diiblis-ibliskan”. Itulah fakta kedua.

Jika dicermati, “Rumah Kaca Abraham Samad” lebih berbobot secara hukum dan poltik ketimbang kasus pengarahan kesaksian palsu yang dituduhkan kepada Bambang. Apalagi kasus Samad baru terjadi kurang dari setahun yang lalu, sedang kasus Bambang sudah lewat hampir lima tahun. Ditambah lagi kasus Samad berskala nasional karena menyangkut Pilpres 2014 daripada kasus Bambang yang berskala lokal. Logikanya, jika ingin KPK hancur, polisi tidak perlu melakukan penangkapan terhadap Bambang.

Pertanyaannnya, kenapa Polri, dalam hal ini Bareskrim, seolah melakukan bunuh diri terhadap institusinya?

Menarik untuk melihat hubungan Kabareskrim Irjen Pol Budi Waseso (BW) dengan Komjen Pol Badrodin Haiti (BH). Pertama, pada 19 Januari BH “dikabarkan” melantik BW secara tertutup. “Dikabarkan” digunakan karena beberapa media menulis kata tersebut pada judul beritanya, artinya media tidak mengetahui secara pasti informasi soal pelantikan BW.

Kedua, apakah mutasi BW yang menggantikan Komjen Pol Suhardi Alius ini dilakukan saat Kapolri dijabat Jenderal Pol Sutarman atau setelah turunnya Keppres pemberhentian Sutarman? Logikanya, sebagai PLT Kapolri, BH tidak berwenang melakukan kebijakan strategis, termasuk memutasi perwira-perwira tingginya. Jika logika ini benar, maka BW bukanlah perwira pilihan BH, tetapi pilihan Sutarman yang diberhentikan Jokowi 10 bulan sebelum masa tugasnya berakhir..

Ketiga, sebelum serah-terima jabatan Bareskrim (19 Januari), BW sempat melontarkan janji kontroversial yang akan membersihkan Polri dari anggota yang berkhianat. Pernyataan BW tersebut dibantah keesokan harinya oleh BH. BH menganggap BW tersebut sebagai ungkapan emosional semata. BW pun menyayangkan pernyataan tersebut.

Keempat, penangkapan Bambang oleh Bareskrim ternyata tidak diketahui oleh BH. Padahal, target penangkapan Bareskrim adalah salah seorang pejabat negara.

Kelima, terjadi perbedaan sikap di antara BH dan BW atas penahanan Bambang. BH mengatakan Bambang tidak ditahan, sementara berdasarkan keputusan penyidik yang disetujui Kabareskrim BW, Bambang tetap ditahan.

Maka, dapat disimpulkan, terdapat hubungan tidak harmonis antara BH sebagai PLT Kapolri dengan BW sebagai Kabareskrim. Bahkan bisa dikatakan telah terjadi konflik terbuka antara BH dengan BW sebelum dan setelah penangkapan Bambang.

Kemudian, penangkapan Bambang oleh Kabareskrim atas perintah BW, justru berdampak buruk bagi Polri dengan BH sebagai PLT Kapolrinya.. Dengan muncul pertanyaan (sekali lagi pertanyaan), apakah penangkapan Bambang merupakan serangan terhadap KPK, atau justru serangan terhadap PKT Kapolri sendiri?

Tapi, ada satu pertanyaan yang menarik, ada keperluan apa Izzat Nabilah (putri Bambang) ikut bersama bapaknya mengantar adiknya (Mohammad Yattaqi) ke sekolah? Apakah sudah menjadi kebiasaan Izzat yang berusia 20 tahun ikut mengatar adiknya sampai ke sekolah lalu kembali lagi ke rumah? Jika tidak, maka patut dipertanyakan keberadaan Izzat saat menangkapan bapaknya. Bagaimana pun penangkapan Bambang yang disertai pemborgolan di hadapan anaknya telah berkontribusi menarik simpati publik. Sebaliknya, Polri mendapat kecaman atas peristiwa tersebut.

Kenapa keikutsertaan Izzat saat penangkapan Bambang layak dipertanyakan? Jawabannya, karena malam hari sebelumnya Bambang seolah sudah mengetahui kalau besok ia akan ditangkap seperti yang diungkapkan oleh dari Samad ketika jumpa pers di Gedung KPK 23 Januari.

“Ada hal-hal yang saya sulit lupakan. Pak Bambang bilang, ‘Pak Abraham, ini malam mungkin malam terakhir buat kita bersama’,” kata Samad.

Jika yang terjadi pada Jumat “keramat” kemarin merupakan bagian “spy game”, maka sudah teraba (belum terbaca) salah satu peta pertarungan elit di negeri ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun