Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tayangan QC Tanpa Aturan: Siapa Untung, Siapa Buntung

2 April 2014   20:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dialog Metro Hari Ini yang ditayangkan Metro TV pada 31 Maret 2013 dibincangkan permohonan uji meteri UU Pemilu 2012 terkait pengaturan waktu tayang quick count (QC), Burhanuddin Muhtadi mengatakan QC memiliki fungsi sebagai pengawal hasil pemilu dari kecurangan. Lebih dari itu, Burhanuddin pun mengatakan pengaturan jam tayang QC sebagai bentuk kriminalisasi terhadap lembaga survei dan media.

"Ini bisa memunculkan kriminalisasi lembaga survei dan kriminalisasi media," kata Sekretaris Dewan Etik Persepi yang juga Pimpinan Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi (Sumber).

Apa keuntungan dari publikasi QC? Keuntungan dari publikasi QC hanya lebih cepatnya informasi hasil pemilu didapat publik. Itu pun jika publikasi QC tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya kepentingan untuk memenangkan pihak-pihak yang memiliki akses pada media.

Misalkan, dengan hanya mengantongi 5 % data yang masuk, pada pukul 10.00 WIB Metro TV menayangkan hasil QC yang menyebut Nasdem mendapat 20 % suara dan mengalahkan parpol lainnya. Sementara pada 10.00 WIB di RCTI, MNCTV, dan Global TV dengan data masuk sebanyak 5 % disebutkan Hanura mengalahkan parpol lainnya dengan total suara sementara 25 %. Sedang pada 10.00 WIB dengan data masuk 5 % pkspiyungan.org menyebut PKS meraih 93 %. Demikian pula dengan TV One yang pastinya digunakan semaksimal mungkin untuk memenangkan Golkar.

Tentu saja angka-angka tersebut tidak bisa diganggu gugat karena setiap lembaga penyelenggara QC menglaim metodologi yang digunakannya benar Toh, angka-angka tersebut dapat dikoreksi seiring dengan masuknya data baru dari sejumlah TPS. Dan, pada akhirnya, ketika data mendekati 100 %, hasil akhir QC hampir sama dengan total rekapitulasi KPU

Bagaimana dengan publik? Publik tentunya dibuat bingung dengan hasil survei yang berbeda-beda tersebut. Sedang parpol beserta calegnya yang tidak memiliki akses terhadap media akan sangat dirugikan. Dengan demikian, publikasi QC justru berpotensi menciderai demokrasi itu sendiri.

MK seharusnya bercermin pada gelar pilpres 2009, di mana pada pukul 10.45 WIB TV One menayangkan hasil sementara QC di mana disebut perolehan pasangan SBY-Boediono jauh di atas dua pasangan lainnya. Setelah diprotes oleh banyak pihak, barulah tayangan tersebut dihentikan Bawaslu. Menariknya, protes keras terhadap tayangan QC sudah muncul ketika pileg 2009, di mana pada pukul 13.45 WIB TV One sudah menayangkan hasil sementara QC yang menyebut Demokrat sebagai pemenang. Secara resmi memang TPS ditutup pukul 13.00 waktu setempat. Namun di banyak TPS pelaksanaan pencontrengan bisa berlangsung hingga sore hari. Maka, pada saat TV One menayangkan QC di sejumlah TPS di Indonesia Barat banyak pemilih yang belum menggunakan haknya.

Dalam dialog di Metro TV tersebut Burhanuddin menyebut “2 jam setelah TPS di Indonesia bagian Barat” sebagai salah ketik. Ia mengaitkan 2 jam itu dengan waktu di dua bagian waktu Indonesia lainnya, 3 jam dari Indonesia tengah dan 4 jam dari Indonesia Timur. Menurut aturan KPU, TPS tutup pada pukul 13.00 waktu setempat. Setelah itu TPS tidak lagi menerima pendaftaran pemilih. Namun, tidak menerima lagi pendaftaran pemilih bukan berarti proses pemungutan suara sudah dihentikan. Proses pemungutan suara tetap dilaksanakan bagi pemilih yang telah mendaftar meski melewati pukul 13,00 waktu setempat.

Pada pileg 2009 misalnya, banyak pemilih yang kesulitan mencontreng. Pertama karena cara pemberian suara berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, dari mencoblos diubah menjadi mencontreng. Kedua lembar kertas suara lebih lebar dari bilik suara. Ketiga, kesulitan pemilih dalam melipat kertas suara yang sudah dicontrengnya. Keempat ada empat kertas suara yang harus dicontreng. Kesulitan-kesulitan itulah yang membuat lama pemilih berada dalam bilik suara. Dan, itulah yang menyebabkan masih banyaknya pemilih yang belum menggunakan hak pilihnya, meski waktu sudah melewati pukul 13.00. Tentu saja penayangan QC pada saat banyak pemilih yang belum menggunakan hak suaranya dapat memengaruhi pengguna hak suara. Jadi, untuk pileg, pukul 13.00 adalah batas batas akhir pendaftaran, dan bukan batas akhir waktu memungutan suara.

Banyak pengamat yang mengacu pada perlakuan Amerika terhadap survei dan WC, di mana di negara tersebut survei dan QC bebas dipublikasikan, tapi mereka lupa untuk melihat perlakuan-perlakuan dari negara-negara yang mengatur ketat survei dan QC pada masa pemilu. Peristiwa tragis yang menelan 20-an korban jiwa sebagai akibat dari publikasi survei dan QC terjadi di Iran pada pilpres 12 Juni 2009. Saat itu hasil publikasi QC yang disebar lewat internet dan SMS bertolak belakang dengan rekapitulasi resmi penyelenggara pemilu. Karena itu perlakuan terhadap QC sebaiknya mengacu pada negara-negara yang mengatur ketat publikasi QC dan peristiwa tragis di Iran yang disebut terburuk pasca revolusi Iran.

Jika QC dinilai berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional, maka sebaiknya publikasi QC diatur. Dan UU pemilu tahun 2012 sama sekali tidak melarang publikasi QC, hanya mengatur QC baru bisa dipublikasikan 2 jam setelah TPS di Indonesia bagian barat ditutup atau pukul 13.00 WIB. Dan, melihat pengalaman pileg 2009, pengaturan 2 jam setelah penutupan TPS di Indonesia bagian Barat sangat moderat. Rentang waktu 2 jam setelah TPS tutup pun bisa dikatakan sebagai antsipasi terhadap molornya tahap pemungungutan suara.

Dan, jika terjadi gangguan terhadap keamanan nasional akibat publikasi QC, siapa yang dirugikan? Tentu saja yang buntung tetap saja rakyat. Para elit termasuk boss lembaga survei bisa mencari selamat dengan pergi ke luar negeri dengan memboyong sejumlah artis cantik ke Pulau Bulan Madu, Maladewa.

Karenanya, pertanyaannya sangat sederhana, mana yang lebih dibutuhkan rakyat, informasi QC atau stabilitas keamanan? Tapi, dengan berkaca pada chaos di Iran yang menelan korban jiwa dan suhu politik Indonesia tahun 2014 yang lebih panas dari pemilu 2009, di mana unsur-unsur SARA terasa kencang digaungkan pihak-pihak tertentu. Ada baiknya jika Mahkamah Konstitusi lebih menitikberatkan pada prinsip kewajiban negara untuk melindungi rakyat banyak dari hal-hal yang berpotensi mengguncang ketenangan, ketertiban dan ketentraman masyarakat ketimbang kepentingan setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun