Dari Washington DC SBY mengaku kecewa dengan hasil voting RUU Pilkada yang memutuskan mekanisme pemilihan kepala daerah berubah menjadi lewat DPRD. Ungkapan kekecewaan yang terlontar dari SBY itu sungguh menggelikan. Bagaimana tidak, hasil dari voting rapat tersebut tidak lepas dari walk out-nya Demokrat, partai yang diketuai oleh SBY sendiri.
Dan, posisi SBY di dalam Demokrat bukan saja sebagai ketua umum, SBY juga menjabat dua posisi strategis lainnya yaitu sebagai ex-officio Ketua Dewan Kehormatan dan i Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Bisa dikatakan SBY adalah Demokrat dan Demokrat adalah SBY. Maka, langkah SBY adalah langkah Demokrat. Pilihan SBY adalah pilihan Demokrat. Dengan demikian bisa dikatakan sikap Demokrat dalam pembahasan RUU Pilkada adalah cerminan sikap SBY sendiri. Apalagi kemudian diungkapkan oleh Ruhut Sitompul tentang adanya komunikasi antara Max Sopacua dengan SBY sebelum keputusan walk out diambil.
“Selalu Ada Pilihan”, demikian judul buku yang ditulis SBY. Dan, sikap “persetujuan” SBY atas walk out-nya Demokrat dari pembahasan RUU Pilkada adalah pilihan sikapnya sebagai Ketua Umum Demokrat. Namun, perubahan 180 derajat sikap Demokrat dari yang semula menggagas pilkada langsung dengan 10 syarat menjadi walk out membuahkan cibiran dan kecaman bagi SBY. Cibiran dan kecaman publik atas sikap SBY tersebut bisa dilihat dari tagar #ShameOnYouSBY menjadi tranding topic di Indonesia dan menjadi salah satu tagar terpopuler di dunia (Worlwide Trens).
SBY sendiri menganggap kritikan terhadap pilihan politiknya sebagai sebuah takdir. Sebelumnya, pada 30 Maret 2013, SBY mengaku dibingungkan dengan adanya 2 pilihan. Pertama, tidak bersedia menjadi ketua umum dengan risiko Demokrat akan menghadapi masalah yang sama. Padahal, proses pemilihan umum 2014 akan dimulai bulan depan.
"Aman bagi saya, tapi belum tentu aman bagi Demokrat," kata SBY.
Pilihan kedua adalah menerima aspirasi menjadikan dirinya sebagai ketua umum partai yang dibinanya sendiri. Dengan resiko SBY mendapat serangan dan kritikan, akhirnya SBY memutuskan untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
“Saya telah memutuskan biarlah saya dikritik dan diserang daripada Partai Demokrat bertambah susah. Barangkali ini takdir saya,” kilah SBY memberi alasan soal ia maju sebagai ketua umum parpol (Sumber: http://www.tempo.co).
Atas pilihan politiknya waktu itu, SBY mendapat banyak kecaman. Salah satu kecaman yang dialamatkan adalah menyebut SBY sebagai presiden part time. Tapi, sekalipun merugikan rakyat, ke-part time-an SBY sebagai Presiden Republik Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebelumnya banyak yang mengatakan selama kepemimpinan SBY, Indonesia bagaikan pesawat autopilot. Buruknya gaya kepemimpinan SBY pun sempat mendapat kritik keras oleh salah seorang perwira aktif TNI Angkatan Udara Kolonel Adjie Suradjie yang menuliskannya lewat kolom opini yang dimuat Kompas pada 6 September 2010.
Sekarang masalahnya berbeda, pilihan politik SBY tidak lagi dinilai sekedar sebagai sikap lebih mementingkan dirinya beserta kelompoknya ketimbang bangsa dan negaranya, tetapi juga diangap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa. Ditambah suhu politik yang belum mereda usai pilpres, menjadikan reaksi publik atas pilihan SBY jauh lebih keras dari sebelumnya.
Dari “percakapan” di jejaring sosial bisa dibaca bila netizen lebih memosisikan SBY sebagai tokoh antagonis melebihi tokoh-tokoh Koalisi Merah Putih (KMP) yang sejak kalah dalam Pilpres 2014 mendukung pilkada tidak langsung. Netizen melihat perilaku Demokrat dalam rapat paripurna sebagai intrik politik paling kotor yang pernah dipertontonkan di dalam gedung rakyat dan dibiayai oleh rakyat. Apalagi kemudian Sekjen PP Romahurmuzy mengungkapkan bila aksi walk out tersebut merupakan bagian dari skenario KMP. Jadi, kalau SBY akan menginvestigasi aksi walk out kader partainya tidak ubahnya seperti stand up comedy yang kerap dipertontonkan SBY.
Sandiwara SBY dan Demokrat dalam rapat pembahasan RUU Pilkada semakin menguatkan stempel SBY sebagai presiden tukang bohong yang dialamatkan oleh tokoh lintas agama pada Januari 2011. Saat itu tokoh lontas agama menyatakan ada 9 kobohongan yang dilakukan SBY.
“Maka Jumat 21 Februari 2014 akan dicatat rakyat Ukraina sebagai "Jumat Agung" karena pada hari itu Tuhan memberi mereka kemenangan. Tapi bagi para penguasa di negeri-negeri kelam yang juga hobi korupsi dan berbohong, bakal dicatat sebagai "Kiamat Jumat". Karena pada hari itu, Viktor Yanukovich, Presiden Ukraina yang memerintahkan pembantaian para demonstran, ngacir dengan helikopter. Kabur sebagai pecundang!” tulis Adhie M. Massardi dalam “Memburu Presiden Korup & Pembohong” yang dipublikasikan di http://www.rmol.co.
Jika SBY menganggap kritikan, kecaman, dan cibiran yang dilontarkan kepadanya sebagai takdir yang harus dijalaninya, maka takdir yang tengah dilakoni SBY kali ini jauh lebih buruk dari sebelumnya. Merosotnya kepercayaan publik atas SBY dan Demokrat seperti ditunjukkan oleh hasil pilig lalu Sebaliknya, pendukung pilkada langsung harusnya merayakan 26 September 2014 sebagai takdir kemenangannya. Karena pada hari itu akibat dari buruknya skenario yang ditulisnya sendiri, SBY malah membuka topengnya sendiri.
Selamat hari kemenangan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI