Belum juga resmi dipilih sebagai balon cagub DKI Jakarta 2017, Sjafrie Sjamsoeddin sudah ditakut-takuti dengan elektabilitas Ahok yang menurut sejumlah lembaga survei berada di atas 50 %.
Berapa sih tingkat elektabilitas Ahok yang sebenarnya? Ada Populi Center yang bilang elektabilitas Ahok sudah 50.8 %. Kalau kata Charta Politica, elektabilitas Ahok 51,8 %. Malah kata Cyrus Network, elektabilitas Ahok masih di atas 60 %. Ada juga Kedai Kopi yang mengatakan elektabilitas Ahok 45,5 %. Itulah hasil survei elektabilitas Ahok yang dirilis antara April- Mei 2016 Sementara ketika merilis hasil surveinya pada Januari 2016 lalu, CSIS bilang elektabilitas Ahok setinggi 45 %.
Anggaplah elektabilitas Ahok 50 %. Kalau DPT DKI Jakarta sekitar 7,5 juta. Artinya, pemilih Ahok sekitar 3,75 juta. Kalau demikian, kenapa pengumpulan KTP dukungan untuk Ahok belum juga mencapai jumlah yang telah ditargetkan yaitu 1 juta KTP?
Seharusnya, dengan posko/both yang tersebar di sejumlah titik di Jakarta pengumpulan KTP untuk Ahok dengan mudah mencapai targetnya. Apalagi, formulir dukungan bisa diunduh dan disebarluaskan oleh perorangan atau kelompok. Formulir itu dibagikan di sejumlah lokasi, seperti perkantoran atau komplek perumahan. Celakanya lagi, masa-masa euforia pengumpulan KTP sudah berakhir.
Jumlah KTP yang berhasil dikumpulkan jauh lebih “jujur” ketimbang hasil survei. Dari jumlah KTP tersebut bisa disimpulkan kalau elektabilitas Ahok tidak seperti rilis sejumlah lembaga survei. Lalu, pertanyaannya, kenapa tingkat elektabilitas Ahok sangat jomplang dengan jumlah KTP yang berhasil dikumpulkan?
Jawabannya sederhana, CSIS dan Populi dikabarkan memiliki keterkaitan dengan orang terdekat Ahok yaitu Sunny Tanuwidjaja. Cyrus Network terkait Teman Ahok. Charta Politika dikenal dekat dengan Metro TV. Hasil survei CSIS terbukti ngaco. Ini terbaca dari tingkat kesukaan lebih tinggi dari tingkat popularitas. Sementara Kedai Kopi sudah terbukti sebagai lembaga survei abal-abal yang datanya tidak dapat dipercaya sama sekali. (Kengacoan CSIS dan Kedai Kopi pernah saya tulis di Kompasiana). Artinya, tingkat elektabilitas Ahok yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei tersebut tidak lebih dari sekedar propaganda.
Karena rilis survei tersebut tidak lebih dari sekedar propaganda, maka tidak mengherankan kalau hasilnya sulit diterima akal sehat. Misalnya menyebut meskipun dihajar banyak kasus, tingkat elektabilitas Ahok justru semakin melambung. Atau ketika ada perseteruan antara Ahok dengan BPK. Populi menyebutkan kalau responden lebih mempercayai Ahok ketimbang BPK. Pertanyaannya kan sederhana, masa sih cagub yang sedang dililit banyak kasus korupis malah yang akan dipilh. Dan, apakah responden Populi tahu BPK itu apa.
Demikian juga dengan jumlah KTP yang terkumpul. Jumlah KTP ini pun bisa dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Misalnya, Teman Ahok menggelembungkan jumlah KTP yang berhasil dikumpulkannya, misalnya 2 juta lembar. Tetapi, dengan dalih efisiensi atau lainnya, KTP yang diserahkan kepada KPU hanya 750 lembar.
Berapa tingkat elektabilitas Ahok sebenarnya? Ini yang masih misteri. Terlebih sejumlah lembaga survei yang terkenal dengan keakuratan datanya, seperti LSI, Litbang Kompas, dll belum merilis hasil survei terkait Pilgub DKI 2017. Demikian juga dengan Politicawave yang belum juga merilis hasil pantauannya. Karena tingkat elektabilitas Ahok masih misteri, maka tingginya tingkat elektabilitas Ahok bsa dianggap sebagai tahayul.
Pendukung Ahok saat ini sudah stagnan. Hal ini terbaca dari pola pengumpulan KTP. Para pengumpul KTP berasal dari satu pertemanan, satu keluarga, satu pekerjaan, satu komunitas, dan kesamaan-kesamaan lainnya. Dengan demikian jumlah pendukung Ahok relatif sulit bertambah. Kalau pun bertambah, jumlahnya tidak akan lebih dari 100 %. Katakanlah jumlah KTP yang terkumpul sebanyak 1 juta, 1 juta tersebut anggaplah benar-benar memilih Ahok. Dari angka 1 juta tersebut, paling banyak suara yang akan diraih Ahok tidak lebih dari 1.8 juta suara.
Kemudian, setalah Pilgub DKI 2012, terlebih setelah Pilpres 2014, pemilih sudah dalam posisi terkotak-kotak yang sulit move on. Pemilih Foke-Nara pada Pilgub DKI 2012 dipastikan tidak akan memilih Ahok. Sementara, tidak semua pendukung Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012 akan memilih Ahok. Dari pemetaan ini, disimpulkan kalau suara yang diraup Ahok tidak akan lebih dari 50 %.