Beda dengan pencaguban Yusril Ihza Mahendra yang sejak awal sudah terbaca hanya sekadar main-main, pencaguban Rizal Ramli terlihat lebih serius.Â
Sejak dicopot dari kabinet Kerja Jokowi, Rizal telah bergerilya ke kantong-kantong warga DKI. Dukungan demi dukungan dari sejumlah elemen masyarakat pun dengan cepat didapatkannya. Soal tiket parpol, ternyata Rizal sudah masuk dalam radar Gerindra.
Masalahnya, seberapa besar peluang Rizal untuk memenangi Pilgub DKI 2017 ini? Bukankah, kata sejumlah rilis survei menyebut tingkat elektabilitasnya rendah.Â
Dengan rendahnya elektabilitas yang dimilikinya itu, apa mungkin Rizal dapat mengalahkan Ahok yang menurut sejumlah rilis survei berelektabilitas tinggi, bahkan di atas 50%?
Jawaban singkatnya, sangat mungkin. Elektabilitas tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Elektabilitas harus dibaca sebagai sebuah tren, apakah meningkat ataukah menurun.
Di samping itu, sampai saat ini hanya Ahok yang sudah 90% dipastikan bakal maju. Selain Ahok, belum ada seorang pun yang dipastikan akan nyagub. Dengan fakta ini wajar saja kalau elektabilitas Ahok mengungguli figur-figur lainnya.
Kekuatan calon petahana dengan tingkat elektabilitas tinggi belum tentu sulit digoyang. Jangankan digoyang, dikalahkan pun sangat mungkin.Â
Kemenangan Jokowi atas cagub petahana Foke dalam Pilgub DKI 2012 bisa dijadikan contohnya. Demikian juga dengan kemenangan Ganjar Pranowo atas Bibit Waluyo dalam Pilgub Jateng 2013.Â
Padahal menurut sejumlah survei elektabilitas kedua kader PDIP itu jauh di bawah calon petahana. Sementara, sekalipun kalah, Rieke Dyah Pitaloka, Effendi Simbolon, dan Puspayoga mampu meroketkan tingkat elektabilitasnya.Â
Tidak tanggung-tanggung, tingkat elektabilitas mereka yang pada awalnya berada di posisi rendah melesat hingga hampir mengalahkan pemenang pemilu di daerahnya masing-masing.
Jadi jelas, tingkat elektabilitas yang tinggi di awal masa pemilu bukanlah jaminan untuk dapat meraih kemenangan.Â