Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Semoga Pilpres 2014 Tidak seperti Pilpres Iran 2009

8 Juli 2014   00:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:06 2180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)

Sejak lama saya tidak pernah setuju bila publikasi survei terkait pemilu dibebaskan begitu saja. Kenapa? Karena saya menganggap rilis survei soal pemilu cenderung bermuatan propaganda atau kampanye ketimbang bernilai akademik. Kekhawatiran saya pun terbukti, sejak Sabtu 5 Juli 2014 lalu berbagai rilis exit poll Pilpres 2014 untuk luar negeri membanjiri media. Hasilnya pun sudah bisa ditebak, setiap lembaga survei merilis hasil yang berbeda-beda dan cenderung mengakomodasi kepentingan kliennya. Tidak hanya exit poll, rilis survei pun demikian. Setiap lembaga survei merilis hasil yang berbeda-beda.

Pilpres 2014 ini tidak berbeda dengan Pilpres Iran 2009. Ketika itu Mir-Hossein Mousavi bersaing ketat dengan Mahmoud Ahmadinejad. Saking ketatnya, tidak satu pun survei yang secara meyakinkan dapat memprediksi pemenangnya. Pada Hari H pemilu berseliweran rilis quick count lewat berbagai media sosial dan juga SMS yang memenangkan Mousavi. Namun, menurut hasil resmi pemilu memutuskan Ahmadinejad lah pemenangnya. Perbedaan antara rilis quick count dan hasil resmi pemilu inilah yang menimbulkan demonstrasi besar-besaran. Kubu Mousavi menuding adanya kecurangan pemilu. Maka, terjadilah konflik horisontal di mana kelompok-kelompok dari kedua kubu saling berhadapan. Oleh kubu Mousavi demonstrasi besar-besaran itu dinamai Revolusi Hijau.

Pilpres 2014 ini menjadi pilpres terpanas di mana perbedaan dipandang sebagai sikap permusuhan. Kampanye negatif, kampanye hitam, fitnah, ancaman, intimidasi, dan indikasi kecurangan semakin menguat. Bila pihak-pihak yang berwenang tidak mampu meredamnya tidak menutup kemungkinan peristiwa yang terjadi di Iran 5 tahun lalu bisa terjadi di Indonesia pasca Pilpres 2014 ini.

Salah satu potensi kecurangan yang paling mungkin terjadi adalah rilis quick count yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi. Indikiasi kecurangan, atau bisa juga disebut propaganda, lewat quick count pernah terjadi pada Pilpres 2009. Saat itu TV One sudah menayangkan quick count LSI meski waktu masih menunjukkan pukul 10.45 WIB.

Penayangan quick count pada pukul 10.45 WIB ini sangat janggal mengingat waktu di Indonesia Timur saat itu menunjukkan pukul 12.45 WIT, sedang TPS secara resmi (sesuai aturan KPU) baru ditutup pada pukul 13.00 waktu setempat. Padahal setelah TPS ditutup, KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) masih harus melakukan penghitungan jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya, memilah pemilih berdasarkan jenis kelaminnya, menghitung surat suara sisa, surat suara rusak atau dikembalikan, menghitung jumlah surat suara yang digunakan, barulah kemudian menghitung perolehan suara. Taruhlah seluruh proses itu memakan waktu 45 manit, maka paling tahap penghitungan suara baru selesai pada pukul 13.45 WIT atau 11.45 WIB.

Pertanyaannya, dari mana LSI bisa mendapat data quick count yang dirilisnya itu? Jika benar data itu diperoleh dari TPS, berarti ada TPS di Indonesia Timur yang telah selesai menghitung suara sebelum pukul 12.45 WIT. Artinya, ada TPS di Indonesia Timur yang melanggar aturan KPU karena telah tutup sebelum waktu yang telah ditentukan, yaitu pukul 13.00. Masalahnya, bukankah data quick count itu diperoleh dari TPS sample yang didapat secara acak, kok bisa LSI secara kebetulan mendapat TPS yang melanggar aturan KPU.

Lain halnya kalau yang ditayangkan TV One saat itu exit poll. Karena data exit poll didapat dari pemilih yang ditanyai setelah keluar dari TPS, maka kalaupun TV One menayangkannya pada pukul 05.30 WIB pun masih bisa diterima, karena pada saat itu di Indonesia Timur waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIT dan TPS dibuka pukul 07.00 waktu setempat.

Berkaca pada pengalaman pilpres 2009 dan berseliwerannya hasil survei yang tidak jelas jelang pilpres, maka mudah diduga bila pada hari H 9 Juli 2014 nanti hal serupa dengan pilpres 2009 akan kembali terulang. Masalahnya, suasana psikologis saat ini jauh lebih panas ketimbang Pilpres 2009. Bisa dipastikan media mainstream dan media sosial akan menjadi medan perang bagi kedua kubu untuk saling lempar hasil quick count-nya. Celakanya lagi, tidak satu pun instrumen negara yang bisa mencegah media mempublikasikan quick count.

Seharusnya sebelum memutuskan membebaskan survei, MK memikirkan adanya kewajiban negara untuk melindungi rakyat banyak dari hal-hal yang berpotensi mengguncang ketenangan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat. Atas adanya potensi rongrongan terhadap stabilitas keamanan nasional itulah sejumlah negara melarang publikasi survei, bukan saja pada minggu tenang, tapi selama masa kampanye. Semoga pemerintah, khususnya aparat intelijen, berkaca pada ricuh pencoblosan di Hong Kong dan memproyeksikan bila dugaan kecurangan serupa terjadi di Tanah Air. Perlu diingat pada 2009 Mahfud MD selaku ketua MK mengatakan kecurangan pemilu berlangsung secara masif, namun tidak terkoordinasi. Dan, sulit dipungkiri bila rilis survei pada masa kampanye ini menjadi bagian dari kecurangan yang masif itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun