Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Risma-Yoyok Maju, Pilgub DKI 2017 Game Over

15 September 2016   12:24 Diperbarui: 15 September 2016   17:24 3638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Pileg 2014 dan sebelum Pilpres 2014 Rhoma Irama marah kepada PKB karena parpol yang diketuai Muhaimin Iskandar itu tidak berusaha mencapreskannya. Rhoma merasa telah berjasa dalam mendongkrak perolehan suara PKB. Saking marahnya, Rhoma bukan saja meninggalkan PKB tetapi melompat pagar mendukung capres yang menjadi lawan PKB.

Rhoma memang memiliki popularitas tinggi, bahkan paling tinggi di antara seluruh capres. Popularitas Rhoma pada saat itu bertengger di angka 98 %. Wajar kalau Rhoma paling populer, bagaimana pun juga ia adalah Raja Dangdut yang tersohor hingga manca negara. Tetapi, walaupun popularitasnya hampir sempurna, tingkat elektabilitas pedangdut ini paling tinggi hanya 2 %. Terlalu jomplang antara popularitas dengan elektabilitas. Mau diutak-atik seperti apapun sulit untuk mengangkat elektabilitas Rhoma. Klaim Rhoma yang mengaku-ngaku berhasil mendongkrak raihan suara PKB pun diragukan mengingat nama besar Rhoma sendiri gagal menggolkan kedua anaknya lolos ke Senayan. Lagi pula selain kedua anak Rhoma, tidak ada caleh PKB yang menyandingkan fotonya dengan foto Rhoma. Dan lagi, pada 2014, PKB menjadi satu-satunya parpol yang lahir dari rahim NU.

Jelang masa kampanye Pilpres 2014 popularitas Jokowi sekitar 65 %. Sementara elektabilitasnya 33 %. Jadi, lebih dari separuh responden yang mengenal Jokowi akan memilihnya. Hasil Pemilu 2014 membuktikan kalau Jokowi dicoblos oleh 52 % pemilih.

Sementara elektabilitas Risma pada saat itu hanya nol koma sekian persen. Tetapi popularitas Risma pun hanya satu sekian persen. Jadi, selisih antara popularitas dan elektabilitas Risma hanya nol koma sekian persen. Bisa disimpulkan, yang memilih Risma sedikit karena yang mengenal Risma pun cuma seuprit jumlahnya. Pertanyaannya, kalau popularitas Risma meningkat, apakah elektabilitasnya juga akan meningkat? Dari berbagai survei yang telah dirilis jawabannya “Ya”. Sayangnya, banyak dari rilis survei itu yang diragukan kebenarannya, contohnya survei CSIS. Dalam rilis survei CSIS itu tingkat kesukaan Risma dan Ridwan Kamil lebih besar dari tingkat popularitasnya. Kok bisa, ada responden yang tidak kenal Risma dan Ridwan tapi suka pada keduanya?

Kalau rilis survei tidak bisa dipercaya, mana yang bisa dijadikan acuan? Jawabannya, media. Coba perhatikan, setiap kali Risma menyenggol DKI, terutama Pilgub DKI 2017, sorot media langsung mengarah ke Walikota Surabaya ini. Space pemberitaan tentang Ahok yang biasanya mendominasi pemberitaan berkurang jauh. Besarnya perhatian media kepada Risma ini menunjukkan kalau kader PDIP ini mendapat perhatian besar dari masyarakat. Dan perhatian masyarakat ini terekam dari celotehan di jejaring sosial. Jadi, sorot media dan celoteh netizen bisa dianggap dapat menggantikan rilis survei yang diragukan kebenarannya itu.

Kalau popularitas Risma naik, apakah elektabilitasnya juga otomatis akan naik? Jawabannya, apakah ada pemberitaan negatif yang menyerempet Risma? Kalau ada, lebih banyak mana pemberitaan negatif dengan pemberitaan positif tentang Risma. Positif negatifnya pemberitaan media akan mempengaruhi sentimen masyarakat. Pemberitaan negatif pastinya akan menimbulkan sentimen negatif. Begitu pula sebaliknya. Pertanyaannya kembali diulang, apakah ada pemberitaan negatif tentang Risma? Jawabannya, tidak ada. Artinya, popularitas Risma yang meningkat itu secara signifikan berhasil mendongkrak elektabilitasnya.  

Seminggu jelang penutupan pendaftaran bakal calon pasangan Pilgub DKI 2017, nama Risma kembali dimunculkan. Tidak tanggung-tanggung, yang akan menjadi pendamping Risma adalah Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo.  Wow, dua pemimpin daerah yang dikenal dengan prestasinya akan maju berdampingan! Benar-benar di luar skenario paling liar sekalipun.

Yoyok kalau maju melawan Ahok itu sama saja dengan Jokowi yang melawan Foke. Walaupun berat, Yoyok yang bakal menang. Dan, Yoyok yang sekaliber Jokowi itu hanya dipasangkan sebagai cawagub. Hanya satu kata yang bisa mewakili pasangan ini: Gila.

Kalau pasangan Risma-Yoyok ini jadi maju dengan diusung oleh PDIP, tanpa perlu analisa mendalam lagi bakal ada dua pasangan yang gagal maju. Pertama, pasangan Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera yang bakal dikenal sebagai pasangan SiAL. Alasannya jelas, PKS, partai tempat Mardani berkiprah sudah memutuskan akan merapat ke PDIP, kalau parpol pimpinan Megawati itu mencalonkan Risma. Pasangan kedua yang batal tampil adalah Basuki Tjahaja Purnama-Djarot atau yang akan dikenal sebagai pasangan Batjot. Alasannya jelas juga, karena secara aturan partai tidak bisa main di dua kaki. Jadi, tidak mungkin PDIP mendaftarkan pasangan Risma-Yoyok sekaligus pasangan Batjot. Kecuali, kalau pasangan Batjot ini maju tanpa embel-embel resmi PDIP.

Warga Batang pastinya tidak akan keberatan bila Yoyok ditarik ke DKI. Tapi, bagaimana dengan warga Surabaya? Bukankah terjadi penolakan luar biasa atas rencana pencalonan Risma untuk DKI 1. Apalagi, setalah terungkapnya skandal kader PKS Neno Warisman yang mengaku mendapat restu dari warga Surabaya, tapi ternyata restu itu didapat dari warga yang dikoordinasi oleh sesama kader PKS. Padahal kepada warga, sambil berurai air mata, Neno mengaku kalau ajakannya pada Risma itu tidak terkait kepentingan politik parpol manapun. Skandal Neno ini jelas menjadi beban bagi PDIP jika memang berniat mencalonkan Risma untuk DKI 1. Sebab, apapun yang disampaikan oleh PDIP tentang ajakannya pada Risma, warga Surabaya akan menganggapnya tidak lebih dari sekedar kepentingan parpol.

Satu-satunya alasan agar warga Surabaya mau melepas walikota kesayangannya itu adalah dengan menjanjikan Risma akan dicapreskan oada 2019 nanti. Dengan konsekuesi, PDIP tidak mencalonkan Jokowi lagi. Lagi pula, melihat performa Jokowi yang kerap melakukan blunder, peluang Jokowi untuk melanjutkan pemerintahannya terbilang kecil. Apalagi setelah kasus Archandra di mana Jokowi mengangkat menteri yang ternyata berkewarganegaraan asing. Belum lagi opini pembelaan yang disampaikan oleh para pendukung Jokowi terkait kasus Archandra ini justru semakin memperburuk citra Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun