Semenjak namanya semakin santer disorot media, bisa dipastikan populartas Tri Rismaharini pun meningkat. Sayangnya, meningkatnya popularitas belum tentu elektabilitas pun ikut meningkat. Kadang keduanya, popularitas dan elektabilitas, berjalan seiringan. Tapi kadang pula tidak. Rhoma Irama, misalnya, menurut sejumlah survei popularitasnya di atas 95%, tetapi elektabilitasnya tidak lebih dari 2%. Sementara sebelum namanya dicapreskan, dengan popularitasnya yang hanya 65%, Jokowi sudah mengantongi tingkat elektabilitas di angka 65%. Itulah yang membuat Jokowi menjadi layak jual pada Pilpres 2014 lalu.
Selain karena faktor media, tingkat elektabilitas pun dipengaruhi oleh sentimen publik. Semakin dipandang positif, elektabilitasnya akan meningkat. Begitu juga sebaliknya. Masalahnya, positif atau negatifnya sentimen terhadap seorang tokoh tidak hanya dipengaruhi oleh tokoh tersebut, tetapi juga oleh yang membicarakannya atau yang menyampaikannya. Kalau Risma diperkenalkan oleh pihak yang dipandang miring oleh banyak orang, sentimen terhadap Risma pun akan negatif. Sialnya lagi, Risma tidak mungkin membatasi siapa-siapa saja yang boleh dan tidak boleh mengkampanyekan dirinya.
Mendadak meroketnya nama Risma di media, termasuk media sosial tentu saja menjadi ancaman bagi calon gubernur DKI lainnya, termasuk Ahok sang cagub petahana. Semenjak nama Risma ramai dibincangkan, praktis nama-nama cagub lainnya tenggelam. Nama Yusril Ihza Mahendra sudah tidak lagi muncul. Begitu juga dengan Sjafrie Samsoeddin. Sementara nama Rizal Ramli, Budi Waseso, dan Anies Baswedan hanya terdengar sayup-sayup. Ahok yang sebelumnya menguasai ruang media, sekarang ini harus rela berbagi tempat dengan Risma. Sandiaga Uno lebih beruntung ketimbang cagub lainnya, sebab ia diusulkan bakal menjadi calon DKI 2 yang akan mendampingi Risma.
Tetapi, sekali lagi, naik tidaknya elektabilitas Risma juga sangat bergantung pada penjualnya. Semujarabnya obat kumis kalau dijual oleh pria klimis, tidak akan laku juga. Latar belakang penjual Risma pastinya berpengaruh besar pada kemenangannya. Respons Fahri Hamzah yang melontarkan kata "sinting" atas usulan Jokowi soal Hari Santri sebenarnya biasa saja. Tapi, karena warga NU melihat Fahri sebagai kader PKS, dan banyak kader PKS yang kerap mengungkapkan kebenciannya kepada NU, sebagian warga NU pun mengalihkan dukungannya dari Prabowo ke Jokowi. Sialnya, kata "sinting" itu diucapkan Fahri saat hari-hari terakhir jelang Hari H Pilpres 2014. Akibatnya, sulit bagi kubu Prabowo untuk memulihkan hubungan baiknya dengan NU. Padahal, konon menurut sejumlah survei, elektabilitas Prabowo sudah menyalip Jokowi.
Menurut survei, 75% penduduk Jakarta mengakses internet dalam kesehariannya. Dengan demikian, medsos akan medan tempur teramai sepanjang masa Pilgub 2017. Salah status atau ciutan dari akun yang dikenal sebagai pendukung dapat merusak citra jagoannya. Ahok sudah sempat mengalaminya saat salah seorang pendukungnya mengunggah foto cyber army Ahok yang sedang berkumpul dengan sejumlah kaleng bir di atas meja. Tapi, dalam pertempuran medsos, Ahok lebih beruntung, sebab banyak pendukung Jokowi yang mendukungnya. Para pendukung Jokowi ini mampu menangkap dan memanfaatkan sekecil apa pun blunder yang dilakukan lawannya. Sebaliknya, pendukung lawan Ahok justru dikenal sebagai penyebar dan produsen informasi hoax.Â
Karenanya, momentum meroketnya nama Risma ini akan menjadi sia-sia kalau tidak dikelola dengan profesional. Risma bisa seperti Jokowi yang meskipun berat tetapi dapat memenangi dua pemilu. Tetapi bisa juga bernasib seperti Prabowo yang gagal meraih kemenangan akibat blunder pendukungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H