Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Langsung: Gerindra Untung, Golkar Buntung

6 Desember 2014   00:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:57 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah ramuan yang diyakini mujarab untuk memenangi pemilu adalah dukugan dari tokoh. Tentu saja tokoh yang dimaksud bukan sekedar terkenal, tetapi juga memiliki tingat keterpilihan atau elektabilitas yang tinggi.

Rhoma Irama, misalnya, siapa yang tidak kenal pedangdut ini, tetapi fakta di lapangan menunjukkan caleg-caleg PKB lebih memilih memajang foto Almarhum Gus Gur ketimbang Rhoma. Artinya, menurut para caleg PKB, sekalipun Rhoma ngetop, tapi tidak akan sanggup meraih suara. Terbukti dari tiga anak Rhoma yang nyaleg, tidak satu pun yang berhasil lolos ke Senayan.

Sebaliknya, di setiap media luar ruangannya caleg-caleg Gerindra mendampingkan foto dirinya dengan foto Prabowo. Hasilnya, perolehan Gerindra meroket tajam dalam Pileg 2014 lalu. Hal serupa pun dilakukan oleh caleg-caleg Demokrat yang menjual ketokohan SBY dalam kampanyenya. Sedang, meskipun Jokowi sudah dicapreskan dan tingkat elektabilitas Jokowi tertinggi di antara capres lainnya, caleg PDIP lebih memilih memajang foto Megawati atau Soekarno.

Tidak hanya dalam pemilu legislatif, dalam pelkada pun dukungan tokoh berelektabiltas tinggi sanggup menaikkan elektabilitad calon kepala daerah. Di Jatim, misalnya, dukungan Jokowi berhasil meningkatkan elektabilitas pasangan Bambang DH-Said Abdullah, dari 3,8% menjadi 13% menurut KPUD. Sementara di Jawa Barat, Rieke Dyah Pitaloka-Teten Masduki yang dudukung Jokowi meningkat tajam dari 13,2% di survei-survei awal menjadi 28,41% menurut tabulasi akhir KPUD Jabar. Sedang di Sumatera Utara Jagoan PDIP yang awalnya berada di posisi buncit dengan elektabilitas hanya 7,4%, angka melonjak tajam, menurut rekapitulasi KPUD Sumut perolehan suara Efendi Simbolon mencapai 24,34 % suara..

Di Jawa Tengah sendiri Ganjar Pranowo meraih kemenangan telak dengan meraih 48,82% suara, meski di survei awal elektabilitasnya hanya 8,4%. Di kandang banteng ini popularitas Jokowi yang juga mantan Walikota Solo sangat berperan, hal ini dilihat dari perolehan suara Ganjar di Solo yang mencapai 78,51% meski di kota itu Ganjar tidak menggelar kampanye terbukanya.

Sekarang ini di Indonesia hanya ada 2 figur yang bisa dijual ketokohannya, Prabowo dan Jokowi. Belakangan popularitas Jokowi sendiri sudah merosot sebagai dampak dari pengurangan subsidi BBM. Dan, bisa jadi sekarang ini “nilai jual” Prabowo sudah melampaui Jokowi.

Tentu saja dengan tingginya nilai jual Prabowo itu calon kepala daerah yang didukung Gerindra sangat diuntungkan. Sebagaimana pada saat pileg, calon kepala daerah yang didukung Gerindra akan menonjolkan ketokohan Prabowo ketimbang dirinya sendiri. Apalagi, Gerindra dan Prabowo sangat identik.

Hal yang berbeda terjadi pada Golkar. Dalam pileg lalu para caleg Golkar tidak ada yang memajang tokoh-tokoh parpolnya untuk dijual Karena di Golkar memang tidak ada tokoh yang memiliki nilai jual, termasuk ketua umumnya, Aburizal Bakrie alias ARB alias Ical. Hal ini diakui sendiri oleh Nurdin Halid pada arahannya kepada ketua DPD 1 Golkar yang bocor ke media.

“Siapa kader Golkar yang potensial, memiliki kapasitas tinggi ingin menjadi ketua umum yang merakyat, gaya kepemimpinan disukai rakyat, siapa yang bisa menyaingi Jokowi? Gak ada biar satu. Gak ada.” Itulah sebagian isi rekaman saat Nurdin Halid “menyetir” peserta Munas IX Golkar.

Terlebih, bagi kadernya sendiri tokoh-tokoh nasional Golkar merupakan virus yang menggerogoti tingkat keterpilihan calon yang didukungnya. Hal ini disampaikan oleh sebagian besar DPD II Golkar yang meminta agar Ical dan orang-orang terdekatnya tidak dilibatkan dalam kampanye pemilu presiden.

"Kita menerima input-input dari masyarakat supaya ketum kami, yaitu Pak ARB, jangan dibawa-bawa," kata Ketua Forum Silaturahmi DPD II Golkar, Muntasir Hamid, saat jumpa pers di Hotel Atlet Senayan, Jakarta, Senin (9/6/2014). http://nasional.kompas.com/read/2014/06/09/1315130/Dianggap.Virus.Prabowo-Hatta.Disarankan.Tak.Libatkan.Aburizal.di.Kampanye

Selain Ical, Muntasir juga meminta kepada Prabowo-Hatta agar tidak melibatkan pengurus DPP Pusat lainnya, Idrus Marham dan Setya Novanto. Menurutnya, ketiga tokoh Golkar itu bisa mengganggu kemenangan Prabowo-Hatta.

"Ini orang-orang yang bisa jadi virus untuk Prabowo dalam rangka pemenangannya," tegas Muntasir.

Jadi jelas, posisi Gerindra dan Golkar sangat berbeda jika pilkada digelas secara langsung. Gerindra dapat “menjual” Prabowo sedang Golkar tidak memiliki tokoh layak jual. Inilah kenapa Golkar ngotot pilkada lewat DPRD, sedang Gerindra tidak demikian.

Bagi Gerindra, ketimbang pilkada lewat DPRD yang mengharuskan partainya berbagi kue dengan Golkar, Demokrat, PAN, dan PKS, lebih baik pilkada langsung, di mana calon yang didukungnya memiliki keuntungan lebih ketimbang parpol lainnya termasuk calon yang diusung PDIP.

Bagi Prabowo, pilkada langsung akan sangat menguntungkannya secara pribadi. Prabowo bisa memanfaatkan momen-momen kampanye pilkada untuk menjaga tingkat elektabilitasnya. Dan, kalaupun Prabowo tidak akan maju lagi sebagai capres pada 2019 nanti, tetap saja ia bisa memanfaatkan keterpilihannya bagu capres yang didukungnya nanti.

Dan, perlu diingat pada 2019 nanti pemilu akan digelar serentak. Artinya, pileg dan pilpres dilaksaakan pada hari yang sama. Karenanya, hanya parpol yang memiliki capres dengan tingkat elektabilitas tinggilah yang berpotensi memenangkan pileg. Sedang bagi parpol yang tidak memiliki tokoh yang mampu menyedot suara (bukan hanya mampu menyedot masa seperti Rhoma dengan dangdutannya), maka parpol terebut akan terpuruk. Di sinilah lewat pilkada langsung Gerindra akan terus mengidentikan dirinya dengan Prabowo sebagai tokoh yang mampu menarik suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun