Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Petinggi KPK, Makhluk Politik yang Akan Diberi Hak Kekebalan

27 Januari 2015   20:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekalipun sebelumnya sudah diberitakan sebagai daftar perwira polisi yang memiliki rekening gendut, penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK sangat mengejutkan. Pertama penetapan BG sebagai tersangka terjadi setelah Jokowi mencalonkannya sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, proses penetapan BG sebagai tersangka tidak melalui proses penindakan sebagaimana biasanya.

Dalam penetapan Jero Wacik sebagai tersangka, misalnya, sebelumnya KPK  beberapa kali melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi, termasuk Jero sendiri. Padahal penetapan Jero sebagai tersangka merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan terhadap Rudi Rudiandini. Dan, setelah menangkap tangan Rudi, KPK masih membutuhkan beberapa bulan sebelum mentetapkan Jero sebagai tersangka.

Tentu saja dengan penetapan BG yang secara tiba-tiba di tengah proses politik membuat langkah KPK dipertanyakan. Muncullah pertanyaan, apakah ini bentuk politisasi yang dilakukan KPK terhadap BG?

Pertanyaan yang sama pun ditujukan kepada Polri yang secara mendadak memroses Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan kasus yang telah lewat 5 tahun lamanya. Penangkapan Bambang oleh Polri yang mendadak itu menimbulkan pertanyaan, apakah penangkapan itu bentuk kriminalisasi Polri terhadap Bambang?

Lalu, apa bedanya KPK dengan Polri? Toh, keduanya diduga menggunakan hukum untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya. Artinya, kedua pihak yang tengah berseteru itu diduga telah menyalahgunakan kewenangannya. Kalau keduanya diduga sama-sama menyelewengkan wewenangannya, kenapa KPK dibela mati-matian, sebaliknya Polri dihujat habis-habisan?

KPK dan Polri itu sama saja. Keduanya lembaga penegak hukum yang tidak imun dari perilaku menyimpang oknum-oknumnya. Di KPK pernah terjadi beragam skandal, mulai dari pertemuan Chandra-Hamzah dengan Nazaruddin serta petinggi Demokrat lainnya, bocornya Sprindik Anas Urbaningrum, dan belakangan muncul kabar Ketua KPK Abraham Samad yang bertemu dengan petinggi PDIP dan NasDem untuk menggolkan ambisinya sebagai cawapres. Ketiga skandal itu menunjukkan KPK yang tidak imun dari politisasi, baik itu diawali dari pihak luar maupun dari KPK sendiri.

KPK sebagai lembaga hukum dipimpin oleh 5 komisioner yang dipilih lewat lembaga politik. Dalam proses pemilihannya, pendekatan politik antara calon pimpinan KPK dengan partai politik sulit dihindari. Pendekatan Samad kepada Demokrat seperti yang diungkap Abas Urbaningrum, misalnya. Dalam lobi-lobi itu pastilah ada tawar-menawar. Artinya, sebelum pimpinan KPK dipilih dan dilantik pun skandal sudah terjadi.

Dalam sebuah tawar-menawar, yang terjadi bukan hanya “Kamu butuh itu. Saya butuh ini dari kamu”, tapi bisa seseorang memilih karena memiliki “kartu truf” untuk digunakan sebagai alat menekan atau memeras pilihannya. “Karti truf” itu bisa berupa “borok” masa lalu yang belum diketahui publik, misalnya foto porno atau perbuatan asusila di masa lalu. Tapi, bisa juga berupa suatu kasus yang diendapkan sekalipun kasus tersebut sudah diketahui publik,

Nazar membuka “borok” Chadra Hamzah yang berulang kali menemuinya. Anas mengungkap “borok” Samad yang bergerilya mencari dukungan pilitik saat pemilihan pimpinan KPK. Hasto Kristianto membeberkan lobi politik Samad. Dan, Polri menangkap Bambang terkait kasus yang sudah berlalu selama 5 tahun.

“Save KPK” bukan berarti melindungi oknum-oknumnya dari jerat hukum. Apalagi dengan memberi hak imunitas kepada para petinggi KPK. Pemberian hak imunitas hanya akan menjadikan pimpinan KPK sebagai permainan selama masa tugasnya. Dengan hak imunitas tersebut pimpinan KPK justru tersandra dengan kasus-kasus yang menjeratnya.

Bayangkan, apa jadinya kalau seorang pimpinan KPK terbukti pernah melakukan pencucian uang, sementara ia tidak dapat diproses secara hukum. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan jika kasus ini benar-benar terjadi? Yang diuntungkan pasti oknum KPK tersebut, sedang yang dirugikan adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebab, bagaimana pun, kasus pencucian uang yang pernah dilakukan oleh satu oknum KPK telah memengaruhi kinerja KPK secara keseluruhan.

Saat ini keempat petinggi KPK tengah berhadapan dengan “borok-borok” masa lalunya. Kinerja KPK pastinya terpengaruh. Dengan kondisi KPK dan pimpinan-pimpinannya yang bermasalah seperti sekarang ini, apakah kita masih mendukung KPK dengan melindungi petinggi KPK yang dipandang layaknya malaikat yang tak berdosa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun