“Ada ramalan yang mengatakan kalau suatu saat nanti Keraton Kanoman akan tertutup glagah alang-alang,” kata Muhammad Rahim saat ditanya tentang keberadaan Keraton Kanoman yang seolah tenggelam oleh keberadaan Pasar Kanoman. “Lalu, dikatakan juga kalau pada suatu saat nanti luas Kanoman hanya selebar payung,” tambah pria berusia 51 tahun ini.
Memang saat ini kata “Kanoman” lebih identik dengan “pasar” ketimbang “keraton”. Sampai-sampai, kalau mendengar kata “Kanoman”, yang terlintas dalam benak sebagian besar masyarakat Cirebon adalah Pasar Kanoman, bukan Keraton Kanoman. Parahnya lagi, tidak sedikit dari anak muda Kota Cirebon yang tidak mengetahui keberadaan Keraton Kanoman yang “tersembunyi” di balik hiruk-pikuk keramaian Pasar Kanoman.
Dari sisi lokasi, Keraton Kanoman memang berada di belakang Pasar Kanoman. Karena letaknya ini, Keraton Kanoman tidak tampak dari arah jalan Kanoman yang menjadi akses menuju area keraton. Untuk memasuki keraton, terlebih dulu harus melewati area Pasar Kanoman yang berdiri di sebelah utara Keraton. Setelah melewati pasar barulah bangunan-bangunan keraton mulai terlihat.
Menurut Rahim yang bergelar Pangeran Kumisi ini, Pasar Kanoman mulai ramai setelah Karaton Kanoman berdiri pada 1678 M. Keterangan Rahim ini berbeda dengan informasi dari sejumlah berbagai situs yang menyebut Pasar Kanoman dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1901 M.
“Begitu ada keraton, masyarakat pun mulai menjalankan roda perekonomian di sebelah timur alun-alun. Dalam struktur tata kota kerajaan di Jawa, alun-alun berfungsi sebagai pusat kota. Keraton dibangun di sebelah selatan alun-alun dan menghadap ke arah utara, masjid berada di sebalah barat, dan pasar berada di sebelah timur alun-alun,” kata Rahim yang ditemui di warung rokok pada Rabu, 25 Januari 2017. “Jadi, Pasar Kanoman bukan dibangun oleh Belanda. Hanya saja ketika masa penjajahan Pasar Kanoman diperluas.”
Seperti yang dicatat dalam sejarah, saat masa penjajahan Keraton Kanoman menjadi pusat perlawanan rakyat Cirebon terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dituliskan juga bahwa Bangsal Sekaten yang terletak di bagian utara area keraton kerap digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pejuang.
Pada Februari 1818 M terjadi perlawanan besar-besaran rakyat Cirebon terhadap pemerintah kolonial Belanda. Meski tersebut akhirnya dapat diredam, tapi api perlawanan masih tetap menyala. Untuk mencegah terjadinya kembali perlawanan besar-besaran, Belanda menerapkan berbagai strategi. Salah satunya dengan cara menggembosi wibawa keraton. Oleh Belanda, wibawa keraton dikikis dengan cara memperluas pasar sehingga menyaingi eksistensi keraton. Selain itu, Belanda pun memanfaatkan pasar sebagai tempat untuk memata-matai aktivitas keraton.
Belum cukup dengan meluaskan pasar hingga nyaris menutupi alun-alun Keraton Kanoman, pemerintah Hindia Belanda juga membangun bioskop di depan keraton. Tujuannya untuk menjauhkan rakyat Cirebon dari pengaruh keraton. Strategi Belanda berhasil. Dengan adanya bioskop, masyarakat Cirebon menjadi lebih tertarik menonton film ketimbang mengikuti pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh keraton.
“Bioskop itu masih ada sampai tahun 70-an. Setelah dibongkar, lahan bekas bioskop dibangun pasar,” kata Pangeran Agung Hadiningrat yang duduk di samping Rahim. “Nama bioskopnya Sampoerna,” tegas pria berusia 62 tahun ini. (Sejumlah situs menyebut bioskop yang berada di Kanoman tersebut bernama Garuda. Sementara menurut Agung, Garuda adalah nama sekolah yang saat ini bernama SDN Pengampon. Keterangan Agung ini dibenarkan oleh Rahim dan salah satu warga lainnya.)
Secara fisik Pasar Kanoman yang terakhir direnovasi pada 2010 ini tidak berbeda dengan pasar-pasar lainnya. Sama dengan pasar-pasar lainnya, Kanoman terdiri dari kios, los, dan lapak-lapak yang berjajar di pinggiran pasar. Menurut catatan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Kota Cirebon, di pasar ini terdapat 1.078 pedagang yang mengisi kios dan los yang berada di dua yang terdiri dari dua bangunan utama.