Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasi Sudah Jadi Bubur, Menko Polhukam Masih Menyalahkan KPK

21 Januari 2015   18:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kalau ada calon, dan KPK dengar ada sesuatu di sana, bertemulah dengan Presiden, jangan sampai Presiden dipermalukan dengan situasi begini. Sampaikan saja secara terbuka ke Presiden, pasti jadi pertimbangan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (20/1/2015).

Dalam kesempatan itu Menko Polhukam meminta (KPK) dan PPATK untuk menjaga wibawa kepresidenan.

Lho, kok KPK dan PPATK yang disalahkan! Bukannya alur prosesnya sudah jelas. Presiden meminta Kompolnas untuk merekomendasikan sejumlah nama untuk dicalonkan sebagai Kapolri. Dari rekomendasi Kompolnas tersebut kemudian presiden memilih satu atau beberapa nama untuk diajukan ke DPR. Kemudian DPR menggelar fit and proper test terhadap calon yang diajukan presiden. Terakhir, calon yang dipilih oleh DPR-lah yang akan menjabat sebagai Kapolri.

Lantas, di mana kesalahan KPK? Apakah KPK salah bila dalam proses tersebut mengumumkan bila calon Kapolri yang diajukan presiden kepada DPR ditetapkan sebagai tersangka?

Jika mencari kesalahan, Jokowi-lah yang pantas dipersalahkan karena, pertama telah mengajukan nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, tidak menghiraukan informasi dari KPK yang telah men-stabilo merah Budi Gunawan. Ketiga, Jokowi tidak menarik usulannya kepada DPR begitu KPK mengumumkan Budi sebagai tersangka.

Di sisi lain Jokowi memiliki hak untuk menolak usulan nama dari Kompolnas. Bahkan mengajukan nama di luar nama calon yang direkomendasikan Kompolnas. Pertanyaannya, kenapa Jokowi yang telah mengetahui bila Budi bermasalah tapi tetap ngotot mengajukannya sebagai calon Kapolri? Bahkan calon tunggal Kapolri.

Sekarang nasi sudah jadi bubur, Komjen Pol. Budi Gunawan sudah dipilih oleh DPR sebagai Kapolri. Sementara itu Jokowi sudah mengeluarkan Keppres pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan Keppres pengangkatan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai PLT Kapolri. Sementara pelantikan Budi sebagai Kapolri ditunda.

Masalahnya berkembang. Konflik di tubuh Polri saat ini sudah berlangsung secara terbuka. Kabareskrim Irjen Budi Waseso yang baru dilantik menyebut ada penghianat di internal Polri. Sebelumnya secara mendadak Kapolri Jenderal Sutarman memutasi Kabareskrim Komjen Suhardi Alius ke Lemhanas. Suhardi yang dimutasikan kemudian membantah pemberitaan kedekatannya dengan KPK dan PPATK.

Konflik terbuka ini lebih hebat ketimbang pergantian calon Kapolri tahun 2010 ketika secara tiba-tiba bintang Timur Pradopo semakin terang. Tidak hanya itu, Timur yang tidak direkomendasikan Kompolnas “mengalahkan” Komjen Pol Nanan Sukarna dan Komjen Pol Imim Sudjarwo.yang namanya direkomenndasikan oleh Kompolnas.

Setelah melihat situasi panas di tubuh Polri, apakah Jokowi masih menunggu waktu penahanan Budi Gunawan oleh KPK. Berapa lama lagi harus menunggu? Lihat saja Jero Wacik, Sutan Bhatugana, dan Suryadhama Ali yang sudah lama ditetapkan sebagai tersangka, tetapi sampai saat ini belum juga ditahan, meski sejumlah saksi sudah diperiksa dan sejumlah pelaku sudah ditahan.

Atau, apakah Jokowi berharap Budi Gunawan mengirim surat pengunduran dirinya sebagai Kapolri. Kalau ini yang dipilih, artinya sebagai pemimpin yang diberi amanat dan hak prerogatif, Jokowi berlaku sebagai pengecut. Bukankah Jokowi yang mengawali semua kekisruhan ini? Masa setelah ricuh seperti ini, malah menunggu “belas kasian” pihak lain.

Sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur, masalah sudah sedemikian rumit. Tidak ada waktu lagi bagi bangsa ini untuk saling lempar kesalahan. Menunggu penahanan Budi oleh KPK atau pengunduran diri Budi bisa sama dengan menunggu Godot. Sebagai kepala negara Jokowi pasti memiliki sistem untuk bisa menerobos kebuntuan.

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/20/13241051/Menko.Polhukam.Tidak.Ingin.KPK.dan.PPATK.Permalukan.Presiden?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kpopwp

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun