Gemulai dan lentur gerakannya seakan tubuh itu bertulang lunak. Melengak kesana, melenggok kemari. Melangkah maju, lalu mundur. Bergeser ke samping kanan, selanjutnya selangkah ke kiri. Berputar dengan jari tangan mengapit selendang. Kemudian penari itu menurunkan tubuhnya, hingga bertumpu pada lututnya. Sedetik, dua detik ia terdiam. Beberapa saat kemudian ia bangkit berdiri tegap. Tangan kanannya direntangkannya, sedang tangan kiri bertolak pinggang. Sejurus kemudian ia bergerak cepat dan sigap. Kakinya menghentak-hentak bertenaga diiringi tetabuhan yang didominasi bunyi kendang dan rebab. Tidak terlihat lagi karakter perempuan lembut dalam kesantunan tata krama. Kini ia seolah bertiwikrama menjadi sosok perkasa yang beringas mengalirkan angkara murka. Dengan wajah pun merah menakutkan!
Mungkin banyak yang tidak menduga jika sosok yang membawakan tari topeng dengan bergonta-ganti karakter itu seorang perempuan uzur berusia 70-an tahun bernama Rasinah. Mimi Rasinah, demikian sang nenek biasa dipanggil. Mimi adalah panggilan untuk ibu bagi masyarakat di Cirebon dan Indramayu, sedang untuk ayah disebut mama. Dalam usianya yang renta Mimi Rasinah tetap bertekad untuk terus menarikan tarian yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati, salah seorang wali songo, sebagai alat diplomasi dalam penyebaran agama Islam di wilayah Cirebon. "Saya akan berhenti menari kalau sudah mati" itulah pancaran tekad dari penari legendaris yang tetap menari walau dalam kondisi fisik sakit. "Biar sakit, saat ingin mentas beliau akan tetap menari" ujar seorang kerabatnya. Baginya orang lain tidak perlu tahu jika ia sedang sakit. Ya, Mimi Rasinah bukanlah seniman cengeng. Pendiri sekaligus pengasuh Sanggar Mulya Bakti ini tidak pernah mengeluh dalam memperjuangkan jalan tarinya.
Mimi Rasinah lahir di dalam lingkungan keluarga seniman di Indramayu, Jawa Barat pada 3 Februari 1930. Ayahnya seorang dalang mengajarinya menari sejak berusia 5 tahun. Bahkan, saat Mimi Rasinah baru menginjak usia 7 tahun ayahnya sudah menempanya dengan mengajak Rasinah cilik mengamen berkeliling, bebarang sebutannya. Dalam menempuh jalan hidupnya Mimi Rasinah mengalami berbagai deraan berat yang bahkan sempat mematahkan semangatnya dalam melestarikan kesenian tari topeng Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang tari topeng yang dibawakannya dianggap sebagai aktivitas mata-mata. Maka kelompok tari yang dipimpin oleh Lastra, ayah Mimi Rasinah, pun dibekukan. Bahkan pada masa agresi militer Belanda di tanah persada ini, dengan tuduhan yang sama seperti yang ditudingkan oleh tentara Bela Diri Jepang, ayah Mimi Rasinah ditembak mati tentara kolonial. Mungkin menurut analisis intelijen kedua tentara penjajah tari topeng merupakan kedok yang digunakan petugas telik sandi tentara republik untuk memata-matai mereka.
Badai kembali menerpa hidupnya, gelombang Gestapu yang menerjang bangsa Indonesia di zaman orde lama telah menyudutkan tarian yang pertama kali dibawakan oleh Nyi Mas Gandasari pada tahun 1500-an ini sebagai tarian seronok yang hanya mengumbar syahwat. Dan tarian ini pun kembali dilarang untuk ditampilkan.Setelah masa Gestapu usai ternyata cobaan hidup belum juga menjauhi Mimi Rasinah. Pada sekitar 1970 an kesenian yang diusungnya tidak mampu menghadapi gempuran kesenian tarling dan sandiwara Pantura, dan Mimi Rasinah beserta tari topengnya pun tersingkir. Kebangkrutan pun membuatnya harus merelakan seluruh topeng beserta asesorisnya dijual. Kemudian uang yang didapat ia gunakan untuk membangun kelompok sandiwara pantura. Selanjutnya hidup Mimi Rasinah pun makin menjauh dari takdirnya". Ia kemudian melakoni beberapa pekerjaan mulai dari penabuh gamelan hingga pengasuh bayi.
Setelah 20 tahun berpisah dari "belahan jiwanya" barulah pada tahun 1999 Endo Suanda, dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, beserta rekannya Toto Asmar menemuinya. Kedua tamunya itu kemudian meminta Mimi Rasinah mempertunjukkan tari topeng yang sudah lama tidak digelutinya. Dihadapan kedua pecinta seni tari ini Mimi Rasinah yang tidak lebih dari nenek renta dengan beberapa cicit ini ternyata masih sanggup membuktikan pesonanya. Mimi Rasinah mampu menyulap kereyotan tubuhnya menjadi karakter yang tangkas, gesit, bahkan beringas. Ketakjuban pun merasuki dua penggiat tari tradisional asal Jawa Barat itu. Keduanya pun menyadari jika Mimi Rasinah masih memiliki energi untuk menarikan tari topeng yang membutuhkan stamina prima, kemudian keduanya pun mendorong Mimi Rasinah untuk kembali melakoni jalan hidupnya, jalan tari topeng Indramayu.
Mau tahu apa yang diminta Mimi Rasinah kepada kedua tamunya itu? Mimi Rasinah hanya meminta uang Rp 150.000 untuk dibelikan gigi palsu yang akan digunakannya untuk menggigit topeng. Sebagaimana kita ketahui topeng kayu tradisional dikenakan menutupi wajah dengan cara menggigit bagian yang menonjol yang ada di balik mulut topeng. Itulah sekelumit kisah yang dituturkan Endo Suanda, master etnomusicologi lulusan Wesleyan University tentang permintaan Mimi Rasinah. Dengan semangat berkesenian yang kembali menggelora Mimi Rasinah membuktikan bahwa usia bukanlah halangan baginya untuk melestarikan budaya bangsa.Undangan demi undangan dipenuhinya. Pangung demi pangung dijejakinya. Sampai akhirnya dunia bagi warga desa Kandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu ini tidak lagi sebatas kota keahirannya dan Jawa Barat saja, dunia pangungnya membentang hingga manca negara setelah merentangkan selendang tarinya di negeri sakura Jepang hingga benua biru Eropa. Usia lanjut yang terus menapak naik tidak mampu membendung pesona aura magis dari tarian topeng yang dibawakannya. Dan, jika ditanya apa lelaku yang harus dijalani serta mantra yang harus dirapalkan, penari topeng yang pantang makan sebelum pertunjukan usai ini hanya berseloroh "mau bayar berapa".
Namun sayang, ditengah pergulatannya dalam melestarikan tarian tradisionai Mimi Rasinah terserang stroke setelah terjatuh saat ia mengambil air wudhu pada 2006 lalu. Namun jiwa ketegaran yang dimatangkan oleh tempaan hidup terus menggerakannya untuk terus menari serta mewariskan ilmu tari yang dimilikinya kepada generasi penerus. Stroke yang dideritanya tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap melangkah tegap di jalan hidupnya. Mimi Rasinah masih bersemangat mempertunjukkan kekayaan budaya nusantara kepada umat manusia. Hal ini mengingatkan kita pada Sawitri yang juga maestro tari topeng asal Losari, Cirebon yang wafat sebelas tahun silam. Keduanya, Mimi Rasinah dan Mimi Sawitri, walaupun sakit namun mereka tidak bisa menahan diri rebahan di atas pembaringan empuk apabila mendengar gamelan ditabuh. Jiwa seni mereka terus memantik saraf-saraf motoriknya untuk terus menari, walau hanya dalam posisi duduk. Mereka berdua tak ubahnya Panglima Besar Jenderal Soedirman yang tetap memimpin gerilya walau hanya ditopang satu paru-paru, meskipun harus ditandu. Dalam kondisi apapun mereka akan tetap meneruskan demi tujuan dan hakekat hidup yang mereka yakini, demi negara, dan demi kehormatan bangsa, bangsa Indonesia.
Banyak orang besar pergi dengan isyarat tertentu, demikian juga dengan Mimi. Rabu 4 Agustus 2010 lalu dalam kondisi separuh badan mati akibat rongrongan stroke Mimi memenuhi undangan menari yang di gelar di Bentara Budaya Jakarta. Pada acara pentas seni dan pameran bertajuk Indramayu Dari Dekat ini Mimi Rasinah datang beserta keluarga dan kelompok tarinya. Dengan cara dibopong Mimi Rasinah naik ke atas panggung. Aura magisnya menyihir ratusan penonton saat ia memperagakan Tari Panji Rogoh Sukma. semua terkesima dan takjub menyaksikan. Sebagian penonton, bahkan, Â merasakan atmosfir kebesarannya saat sang legenda dibopong naik ke atas panggung. Dalam tarian yang merupakan puncak dari segala tarian topeng Indramayu tersebut Mimi duduk dengan nyaman, sementara Airli, cucu sekaligus pewarisnya, berdiri kokoh. Saat menarikan tari topeng ini penari dituntut mampu mengolah jiwa dengan menahan segala gerak tubuh. Dalam tarian yang sarat makna spiritual ini Mimi Rasinah menari dalam diam. Diam yang sebenar-benarnya diam.
Dan, tidak ada yang menduga jika tarian yang dipertunjukan pada sekitar pukul 21.00 tersebut merupakan persembahan terakhir dari sang maestro. Tidak akan pernah lagi kita dapat menyaksikan kegemulaian hingga keberingasan Mimi lagi. Pada 7 Agustus 2010 Nenek Rasinah telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Penari Rasinah telah benar-benar "diam".Ya, sukma Mimi Rasinah telah meninggalkan jasad rentanya. Seperti halnya Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Patimura, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sahrir, dan Tan Malaka serta para pahlawan lainnya yang meninggalkan warisan gelora semangat juang, semangat juang yang tidak pernah padam sekalipun mereka telah "diam" Mimi Rasinah pun mewariskan semangat keteguhan dalam berkesenian. Para pahlawan, termasuk Mimi Rasinah tidak pernah berharap sebuah penghargaan berupa medali atau pun bintang kehormatan lainnya. Mereka tidak pernah menginginkan untuk dipahlawankan. Tetapi, mereka khawatir, bahkan takut, jika generasi penerus negeri ini tidak lagi melanjutkan perjuangannya.Yang mereka butuhkan hanya generasi muda yang mempertahankan kejayaan bangsa, termasuk budayanya.
"Saya akan berhenti menari kalau sudah mati" dan Mimi telah membuktikannya kepada kami, bahwa Mimi telah melangkah sampai ujung jalan hidup Mimi, jalan tari topeng. Selamat jalan Mimi Rasinah, pahlawan  bertopengku. Semoga Mimi tenang dalam ketenangan abadi, ketenangan dalam kedalaman sunyi. Selamat jalan Legenda Tari Topeng Indramayu. Selamat jalan seniman agungku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H