Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

KPPS Mau Jadi Miliuner, Begini Caranya

14 April 2014   19:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
-Ilustrasi, Salah satu KPPS di Aceh. (lipsus.kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="-Ilustrasi, Petugas di KPPS di Aceh tengah menghitung suara (9/4/2014). (lipsus.kompas.com)"][/caption]

Kalau mau nakal, anggota KPPS bisa saja meraup uang jutaan, bahkan ratusan juta rupiah. Dengan uang makan Rp 35 ribu per anggota yang dipotong pajak 5 % dan “uang tenda” sebesar Rp 750 ribu pun yang diterima hanya Rp 690 sedang di banyak TPS pengeluaran untuk kebutuhan tenda dan makan jauh melampaui dana yang diterimanya. Karenanya, KPPS dituntut untuk berpikir kreatif agar honor yang diterimannya tidak terpakai untuk mendanai TPS. Jadi, kalau kita bisa “berbisnis” dengan memanfaatkan celah pemilu, maka kita tidak akan tekor, malah bisa jadi miliuner.

Bagaimana caranya? Kita manfaatkan saja kesemprawutan DPT! Gampang!

Seperti yang pernah saya berkali-kali tulis, dalam kesemrawutan DPT berpotensi menimbulkan kecurangan, khususnya mobilisasi masa. Dan, setelah menjadi ketua KPPS, saya jadi mengetahui bila kekisruhan DPT lebih dari yang sering dibincangkan di TV dan media. Karut-marut DPT ternyata bukan hanya penggandaan pemilih dan penghilangan hak pilih, tetapi juga terselipnya pemilih dari RW lain dan terdaftarnya pemilih siluman.

Di TPS 22 Kel. Sukapura, Kota Cirebon terdapat 3 nama pemilih dalam DPT yang tidak dikenali sama sekali baik oleh warga maupun pengurus RT. Menariknya, salah satu pemilih yang terdaftar tersebut beralamat di sebelah rumah saya. Sedang dua pemilih lagi beralamat di RW yang terpisah jauh, sehingga surat C6 tidak dikirimkan. Jadi, ada 5 surat C6 yang bisa dibisniskan oleh KPPS.

Caranya, jual saja surat C6 itu kepada caleg atau tim suksesnya, atau kepada tim sukses capres. Dijamin 5 C6 itu akan dikonversikan menjadi suara. Bandingkan dengan serangan fajar yang belum tentu berbuah suara. Bayangkan kalau dari satu TPS saja caleg/capres mandapat tambahan 5 suara, berapa banyak suara yang diraupnya dari keseluruh TPS yang ada.

Perlu diingat, syarat menangnya capres adalah 50 % plus 1 dan menang di 50 % plus 1 dari total seluruh propinsi. Jadi satu suara saja sangat berarti bagi hidup mati capres. Jadi satu lembar C6 bisa bernilai milyaran!

Bagaimana KPU? Apa KPU punya solusi?

Begini KPU, tulisan ini sama sekali bukan untuk mengajak KPPS berbuat curang. Kalau bermaksud curang pasti tidak akan saya tuliskan di sini. Lewat tulisan ini saya justru bermaksud membuka mata KPU dan berbagai pihak untuk lebih menyeriusi kesemrawutan DPT dan bagaimana meminimalisasi potensi kecurangan atas ketidakkaruannya DPT.

Untuk memberesi DPT pada pilpres nanti sudah tidak mungkin lagi. Biarkanlah DPT kacau seperti sekarang. Ibaratnya, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal kita buat bubur itu menjadi lezat.

Caranya?

Bukankah pemilih datang ke TPS hanya perlu membawa C6. Dan, KPPS pun hanya memeriksa nama pada C6 lalu menceknya dengan nama pada DPT. Kalau nama di C6 dan DPT cocok, pemilih bisa masuk TPS dan berhak mencoblos. KPPS tidak wajib mengetahui apakah sosok/fisik pemilih benar-benar orang yang terdapat dalam C6 dan DPT atau tidak. Jadi siapapun orangnya bisa dengan bebas menggunakan C6 milik orang lain. Misalnya, Anas bisa mencoblos dengan menggunakan C6 atas nama Ruhut. Meski petugas KPPS mengenal wajah Anas dan Ruhut, tapi tidak berhak menolak Anas.

Nah, untuk meminimalkan C6 digunakan oleh orang lain, ada baiknya saat melakukan pendaftaran pemilih juga harus menunjukkan KTP atau bukti indentitas lainnya. Dengan cara seperti ini, paling tidak C6 “siluman” dalam DPT tidak bisa digunakan. Gampang bukan cara mengurangi potensi kecurangan DPT.

Begitu saja KPU. Salam JURDIL.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun