Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Ketimbang Selipkan Pasal Penghinaan, Mending Pakai Pasal Ini dan Ini

5 Agustus 2015   11:16 Diperbarui: 7 Februari 2018   18:27 3270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo. (WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN)

Katanya pemerintah Jokowi mau menyelipkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada RUU KUHP. Lho, memangnya kenapa dengan penghinaan terhadap Jokowi? Bukannya Jokowi biasa dihina, dicaci, dimaki, difitnah, dan lain sebagainya. Apa Jokowi marah-marah, apalagi uring-uringan seperi Mbak Mike kalau sedang “dapet”?

Soal penghinaan terhadap presiden, saya jadi inget humor jadoel. Tapi, supaya tidak jadoel, saya permak sedikit saja. Begini ceritanya. Ada orang Ameriak dan orang Rusia. Si Amerika mengatakan, "Kalau kita berdiri di halaman Gedung Putih dan berteriak, ‘Obama brengsek! Obama sialan! Obama anjing buduk!, Obama Kafir, Obama Komunis, Obama Laknatullah!’, kita nggak bakalan ditangkap." Si Rusia tidak mau kalah. Ia pun menyahut, “Kalau kita berdiri di depan Istana Kremlin dan mengatakan seperti yang kau katakan tadi, kita juga nggak bakal digaruk."

Memang setiap negara punya aturan yang berbeda dalam mengurus cacian warga negara kepada pemimpinnya. Di Turki, misalnya, gara-gara bikin puisi satire yang dinilai menghina Erdogan lalu mengunggahnya di Instagram, Merve Buyucsarac ditahan bulan lalu dan diancam hukuman 2 tahun penjara. Kok bisa? Ya bisa sebab di bawah kepemimpinan Erdogan yang juga kader dakwah Ikhwanul Muslimin ini,pemerintah Turki membatasi kebebasan media, memberangus kritik di media sosial, dan menyeret ratusan orang yang terlibat unjuk rasa anti-pemerintah ke pengadilan. Otoriter dong? Ya iyalah. Erdogan gitu loh.

Di Indonesia beda lagi. Rencananya pemerintah bakal mengusulkan Pasal 264 Rancangan UU KUHP yang bunyinya, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” 

Pasal ini renkarnasi dari pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Pasal-pasal itu dinilai tidak relevan lagi sebab dibuat pada masa penjajahan Belanda, untuk mempertahankan harga diri Ratu Belanda. Jadi, dulu untuk melindungi Ratu Belanda dari kritikan dibuatlah pasal penghinaan. Dengan demikian penjajah Belanda telah menyamaratakan penghinaan dengan kritikan. Mengritik Ratu sama saja dengan menghinanya! Dengan dicabutnya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakilnya, maka kita tidak hanya bebas mengritik, tapi juga bebas mencaci, memaki, menghina, memfitnah, dan lain sebagainya.

Masalahnya, tren masa kini bicara lain. Bertolak belakang dengan zaman penjajahan dulu. Kalau dulu mengritik dianggap menghina, maka sekarang menghina dipikir sebagai mengritik. Bahkan memfitnah pun dipandang sebagai mengritik. Contohnya, tulisan yang menyebut Gibran bukan putra kandung Jokowi.

Balik lagi ke pasal yang diusulkan oleh pemerintah. Di situ tertulis, “... penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum ...” Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra ini, “Kesan rakyat, kalau menteri goblok, yang ngangkat lebih goblok lagi. Negara jadi dagelan, main goblok-goblokan tiap hari. Energi dan waktu terbuang", apakah termasuk kritik atau penghinaan? Bisa atau tidak Yusril dikenakan pasal penghinaan? Kalau membingungkan, bisa-bisa pasal jadi pasal karet. Kalau berpotensi jadi pasal karet kan lebih baik dihapus saja.

Tapi, kalau pasal itu tidak jadi dimasukkan ke dalam RUU KUHP, Jokowi dan presiden-presiden selanjutnya bakal jadi sasaran empuk hinaan, cacian, makian, fitnahan, dan teman-temannya. Nah, ini. Jokowi itu kan selain Presiden RI juga warga negara. Dan sebagai warga negara Jokowi bisa mengadukan kalau merasa nama baiknya dicemari. Jokowi, selaku pribadi, bisa menggunakan pasal pencemaran nama baik KUHP atau pasal-pasal dalam UU ITE. Asal, hinaan, cacian, makian, hujatan, fitnahan dan rekan-rekannya itu ditujukan kepada Jokowi selaku individu, bukan Jokowi sebagai Presiden RI.

Dengan pasal pencemaran nama baik dan juga UU ITE orang sudah lebih berhati-hati. Contohnya saya sendiri. Saya belum pernah menulis soal Gatot Pujo di Kompasiana. Bukan karena nama depan Gubernur Sumut itu sama dengan nama saya, tapi karena saya belum tahu pasti apa yang sebenarnya menjerat Gatot Pujo, terjerat kasus suap atau terjerat istri muda.

Jadi, tidak perlu bangunkan lagi pasal yang sudah mati itu. Kalau ada hinaan yang nyerempet-nyerempet kebijakan pemerintah, ya diamkan saja.. Tapi, kalau sudah, misalnya, menyentuh nama baik keluarga, ya laporkan saja. Gampang kan? Gitu aja kok repot.

Lagi pula, siapa sih yang suka menghina presiden? Orangnya itu-itu juga. Grupnya juga itu-itu juga. Malah lebih sering mereka menghina, akan semakin bagus bagi Jokowi dan semakin buruk bagi mereka. Buktinya, setiap kali menghina, mereka malah jadi bahan olok-olok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun