[caption id="attachment_354929" align="aligncenter" width="297" caption="Dari Tempo.co"][/caption]
Soal naiknya harga BBM sudah sering diberitakan, dibincangkan, dan disikusikan. Dan, itu soal yang biasa yang pernah terjadi dan akan terus terjadi. Tapi, ada satu masalah yang kurang mendapat perhatian, padahal masalah ini lebih mendesak ketimbang soal harga BBM. Masalah itu pengembangan sumber bahan bakar nabati (BBN)
Kalau tidak ada eksplorasi sumber minyak Indonesia bakal habis dalam 12 tahun lagi. Artinya kita hanya memiliki dua alternatif, pertama mengimpor BBM, kedua mengembangkan BBN. Masalah lainnya, pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia masih belum jelas masa depannya. Padahal sesuai Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2015, produksi biofuel akan ditingkatkan menjadi di atas 5 % atau 166,9 juta SBM dari total 3.252,2 juta SBM. Untuk mencapai target produksi tersebut berbagai upaya telah dilaksanakan pemerintah.
Salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan energi nabati adalah membentuk Desa Mandiri Energi (DME).Secara teknis, DME akan dikembangkan melalui kegiatan dari hulu ke hilir untuk menyediakan energi di desa-desa tertinggal.. Kegiatan di hulu berupa budidaya tanaman bahan baku BBN yang secara agroklimatologi cocok untuk daerah tujuan DME. Dengan mengacu pada kesesuaian agroklimat dan kelayakan sosial-ekonomi, maka tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) menjadi pilihan utama dalam DME. Sedangkan kegiatan di tengah dan di hilir berupa penerapan teknologi yang terjangkau masyarakat perdesaan dalam hal produksi BBN.
Dalam konsep DME, pemerintah memberikan bantuan khusus berupa sarana produksi, seperti bibit, kebun induk, mesin dan peralatan, serta sarana lainnya yang dibiayai melalui APBN/APBD. Sedang jenis-jenis energi alternatif yang dikembangkan diusulkan oleh pemerintah daerah setempat.
Sayangnya, menurut berbagai pemberitaan media, DME banyak menemui kegagalan. Di Desa Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, sejak 2009 kebun tananaman jarak pagar seluas 45 hektar yang dikelola petani kini tidak tampak lagi setelah pabrik pengolah minyak jarak yang dibangun tidak pernah berproduksi atau mengolah biji tanaman jarak. Parahnya lagi, ketika harga jarak jatuh, pembeli yang adalah petugas dari bantuan PT Pertamina juga kabur dan tidak lagi mendatangi rumah para ketua kelompok tani tanaman jarak. Ironisnya, desa ini direncanakan sebagai DME oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007.
Rendahnya harga jual jarak pagar di bawah harapan yang menyebabkan petani kembali beralih ke tanaman pangan juga terjadi di Kabupaten Sleman, DIY. Dari luas lahan yang awalnya 20 hektar di Prambanan, kini menyusut hanya menyisakan 2 hektar. Sedang di Kalasan hanya tinggal setengah hektar dari yang semula 5 hektar. Akibatnya, sejumlah bantuan peralatan mangkrak lantaran tak digunakan. Padahal dalam pelaksanaannya ada bantuan dana sebesar Rp 12 juta hingga Rp 15 juta perkecamatan, namun tetap tidak menutup ongkos produksi.
Sementara itu, sejumlah petani di Jabar menghentikan penanaman dan pemeliharaan tanaman jarak. Mereka mengaku putus asa karena pembeli hasil taninya tak kunjung tiba. Para petani itu, terutama dari Kabupaten Bandung, berencana beralih ke tanaman lain meski berisiko merugi. Padahal sebelumnya setiap kelompok tani rata-rata mengusahakan tanaman jarak 5-10 hektar.
Menariknya, setelah dinilai gagal dalam memberdayakan jarak pagar dan terlanjur mengucurkan bantuan berupa sejumlah bibit dan pabrik pengolah biji jarak ke sejumlah daerah, pada tahun 2008 permerintah mengganti jarak pagar dengan nyamplung dan kemiri sunan. Pemerintah sepertinya tidak mengevaluasi kegagalan DME lebih mendalam. Karena, jika dicermati dari berbagai pemberitaan media, persoalan utama yang yang mengakibatkan kegagalan DME bukanlah jenis tananam, melainkan harga panen yang tidak sesuai dengan harapan petani, tidak adanya pembeli hasil panen petani, dan kurangnya pendampingan dari pemerintah.
Seharusnya Indonesia berkaca pada Eropa. Walaupun sedang menyiapkan pembangkit listrik tenaga matahari di Gurun Sahara, Afrika, negara-negara Eropa ternyata, masih mempertahankan pengembangan energi nabati untuk mengantisipasi kemungkinan defisit sumber energi di masa yang akan datang. Untuk itu Eropa sedang menyiapkan lahan perkebunan seluas Denmark.
Sumber:
http://rafflesia.wwf.or.id/library/clips/clips_detil.php?id_clips=161
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/03/11/mjhju8-program-desa-mandiri-energi-terancam-gagal
http://travel.kompas.com/read/2011/03/07/16112734/Gagal.Desa.Mandiri.Energi.di.Grobogan.
http://mediaobsesi.com/berita-371-sulitnya-ciptakan-desa-mandiri-energi.html
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/07/095261721/Bahan-Bakar-Nabati-Eropa-Perlu-Lahan-Seluas-Denmark
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H