Entah apa yang terjadi dengan cara berpikir bangsa ini? Saat bertindak cepat mengatasi bencana erupsi Gunung Kelud, Pak SBY dibilang cari muka jelang pemilu, alias tebar pesona, alias pencitraan. Memangnya salah kalau Pak SBY sebagai Presiden Republik Indonesia menjalankan tugasnya dengan baik? Lantas apa yang salah dari pernyataan gagah berani Pak SBY sebagaimana yang diberitakan Kompas.com dengan judul “Presiden Akan Kunjungi Lokasi Bencana Gunung Kelud”.
"Hari ini, besok, dan lusa, kita utamakan kegiatan tanggap darurat di lapangan. Setelah itu, saya akan datang ke lokasi langsung untuk melihat seperti apa situasi setelah dua hari itu," tegas Bapak Presiden. Jumat kemarin (14/2/2014).
Kemudian atas kesigapan Bapak Presiden itu lantas banyak yang membandingkannya dengan penanganan pengungsi bencana Gunung Sinabung, di mana kala itu Pak SBY dinilai lambat. Saking mengkelnya memperhatikan kelambatan Pak Presiden SBY tersebut para hater mendesak Pak SBY segera turun mengunjungi Sinabung lewat Gerakan #UnfollowSBY yang merambah media Twitter. Parahnya lagi, pembandingan itu kemudian diseret ke isu Jawa-luar Jawa, isu yang tentu saja sensitif jelang pemilu 2014 ini, khususnya jelang pilpres.
Benarkah perbedaan kecepatan gerak Pak SBY soal Gunung Kelud dan Gunung Sinabung karena pertimbangan Jawa-luar Jawa? Sebagai pendukung setia Pak SBY, sama halnya seperti Angelina Sondoakh, Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Hartati Murdaya, Sutan Bhatoegana, Tri Yulianto, Jero Wacik, Tri Dianto, Ruhut Sitompul, Nurhayati Assegaf, Ramadhan Pohan, Gede Pasek, Sri Mulyono, Sengman, Felix, Pakde Kartono, Elde, Jati, Bain Saptaman, Ahmad Jayakarti, Ninoy Karundeng, Pakde Sakimun, Mex’r and Franks, Gunawan, Jack Soetopo, Muhammad Armand, Joko, Widodo, Bunda Putri, dan tentu saja Edhie Baskoro, saya akan berdiri di barisan terdepan membela Pak SBY dengan pedang terhunus. Saya akan membuktikan kalau tudingan tersebut salah besar.
Dan ini bukti-buktinya! Kalau kegesitan itu karena Gunung Kelud yang berlokasi di Jawa tentu kegesitan itu juga sudah ditunjukan oleh Pak SBY dalam mengatasi banjir tahunan di Jakarta. Tapi faktanya, setelah hampir genap 10 tahun memimpin saya belum pernah mendapati berita ada terobosan-terobosan Pak Presiden untuk mengantisipasi banjir.
Dan yang saya tahu gebrakan itu baru ada setelah pemerintahan Jokowi-Ahok. Paling tidak pengakuan itulah yang disampaikan Bupati Bogor Rahmat Yasin kepada media. Bupati Bogor Rachmat Yasin mengatakan, kerja sama antara Kabupaten Bogor dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru tercipta pada pemerintahan Jokowi-Ahok. Menurutnya, kerja sama ini belum pernah dijajaki pada masa gubernur sebelumnya.
"Sebelumnya tidak, sejak Jokowi memimpin saja," ujar Yasin, seusai pertemuan. (Sumber:Kompas.com)
Belum lagi soal vila-vila liar di kawasan puncak. Meskipun sejak 2007 Jusuf Kalla sudah memerintahkan pembongkaran vila liar di kawasan konservasi dan resapan air di hulu Sungai Ciliwung, tapi vila yang melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 mash tetap berdiri, bahkan semakin bertumbuhan.Dan,baru di zaman Jokowi bangunan-bangunan liar itu diratakan dengan tanah. (Sumber:Tempo.co)
Entahlah, itu kan wilayah Bogor, tapi bagaimana dengan kawasan Jakarta sendiri. Bukankah Pak SBY tinggal puluhan tahun di Jakarta? Bukankah sudah hampir 10 tahun Pak SBY berkuasa sebagai presiden yang beristana di Jakarta? Sepertinya, selama menjadi presiden Pak SBY sepertinya tidak pernah bertanya kepada menteri-menterinya soal penyebab berulangnya banjir di Jakarta?
Yang saya tahu banjir di Jakarta menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau pemerintah pusat. Sayangnya, ini katanya, pemerintah pusat belum optimal membantu Pemprov DKI. Malah di masa Jokowi ini baru terungkap kalau ada perkerjaan yang menjadi wewenang Kementrian PU yang dibuat asal jadi. Ada got yang buntu. Ada trotoar yang tidak memiliki mulut air untuk mengalirkan air ke selokan. Akibatnya air tidak bisa mengalir. (Sumber:Kompas.com)
Oh itu kan Jakarta, sedang Kelud kan di Jawa Timur, jadi Pak SBY yang asli Jawa Timur pasti lebih memperhatikannya. Sungguh cara berkelit yang mudah dipatahkan, apalagi oleh pendukung Pak SBY seperti saya yang berdiri paling depan dengan pedang terhunus. Sebab dengan satu kalimat saja saya dapat mematahkan tuduhan para hater tersebut. “Kalau Pak SBY lebih memperhatikan Jawa Timur, tentunya korban Lapindo tidak berlarut-larut menderita.”
Menyemburnya lumpur Lapindo itu kan terjadi pada 29 Mei 2006. Pada saat itu Pak SBY sudah menjadi Presiden RI dan pemilik Lapindo Aburizal Bakrie menjadi salah seorang menterinya. Wakil presiden saat itu pun Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar, partai tempat pemilik Lapindo berkiprah. Belum lagi Gubernur Jatim berturut-turut sejak Lapindo menyembur, Imam Utomo lalu Soekarwo, dekat dengan Pak SBY dan keduanya pun merupakan kader terbaik Partai Demokrat.
Masih ada ganti rugi sebesar 80 persen atau senilai Rp 786 miliar yang harusnya diserahkan ke para korban oleh perusahaan. Menunggu pencairan itu, warga terpaksa tinggal di gubuk-gubuk yang didirikan di atas tanggul (Sumber: Kompas.com). Terakhir, lewat Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya, ARB berjanji akan membayar kerugian 20 kali lipat sebelum pileg 9 April 2014 nanti.
Kalau disebut Pak SBY lebih mementingkan “tanah kelahirannnya” pastinya Bapak Presiden sudah menyelesaikan bencana yang merengut korban jiwa serta memaksa 11.881 keluargamengungsi ini. Bayangkan setelah hampir 8 tahun setelah lumpur Lapindo menyembur, proses ganti rugi oleh Lapindo Jaya belum juga terselesaikan.
Jadi, jelas Pak SBY tidak membeda-bedakan daerah satu dengan daerah lainnya. Pak SBY tidak membedakan Jawa dan luar Jawa, tidak membedakan Jakarta dan Sidoarjo. Pak SBY, seperti yang kerap dikatakan Ruhut dalam ILC, seorang negarawan yang adil, arif, dan bijaksana.
Lantas, ada pula yang mengaitkan Gunung Kelud dengan Dapil VII Jatim (Kab. Magetan, Kab. Ngawi, Kab. Pacitan, Kab. Ponorogo, dan Kab. Trenggalek) tempat putra bungsu Pak SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) mencalegkan dirinya.. Pengaitan ini terlalu konyol mengingat Pak SBY sebagai ksatria, jenderal bintang empat yang tidak mungkin lari dari tanggung jawab, sementara Ibas yang kepergok bolos dalam rapat DPR mengundurkan diri dengan alasan akan fokus mengurus partainya.
Padahal, dalam pileg 2009 lalu Ibas meraup 327.097 suara. Perolehan suara yang melewati bilangan pembagi ini amat dibanggakan oleh Ibas, hal ini terlihat dari situ pribadinya edhiebaskoro.com. Perolehan kedua tertinggi di bawah caleg nomor 1 Partai Demokrat dari Dapil II Sulawesi Selatan Mohammad Jafar Hafsah yang menurut pusat tabulasi nasional Komisi Pemilihan Umum mendapat suara 111.226.214 atau 3/4 dari total DPT (DPT berjumlah 171 juta) Detik.com
Jadi sangat jelas Pak SBY tidak mungkin datang ke Gunung Kelud tidak lebih dari sekedar untuk mengkampanyekan anaknya, Ibas, yang tanpa malu maju lagi di dapil yang 327.097 suara pemilihnya pernah diabaikan. Pak SBY pastinya malu melakukan itu, apalagi menyampaikan pidato dalam pembukaan Indonesian Young Leader Forum 2013 pada 18 April 2013, Saat itu tegas Pak SBY mengatakan, “My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins.” (Sumber: The Jakarta Globe). Dari sini terungkap bila Pak SBY tidak menyetujui kemunduran putra bungsunya dari DPR RI dan lebih memilih partai.
Kalau kegesitan Pak SBY di kelud itu bukan karena soal Jawa, bukan karena masalah Jatim, dan bukan pula terkait kampanye anaknya, lalu karena apa?
Sebagai anak bangsa yang berbakti kepada negara dan menghormati pemimpinya, saya berharap berita tentang Pak SBY yang cepat menanggapi bencana itu cuma HOAX saja. Tapi, baiknya, mari kita sama-sama menunggu penjelasan Pak SBY lewat akun Facebook atau Twitter-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H