Lakon “Petruk Dadi Ratu” sering berseliweran lebih dari setahun belakangan ini.
Lakon ini dipakai untuk mengolok-olok sejak Jokowi masih belum dicapreskan.
Kata para pengolok-olok, sama seperti Petruk, Jokowi tidak layak menjadi orang nomor satu karena tidak mempunyai bekal. Akibatnya kondisi negara jadi berantakan tidak karuan.
Kalau mikirnya lurus-lurus saja, “Petruk Dadi Ratu” memang menceritakan tentang ketidakbecusan Petruk dalam memimpin kerajaannya.
Akibatnya, negara jadi morat-marit. Konflik terjadi di sana-sini. Rakyat jadi menderita.
“Petruk Dadi Ratu” ini buah karya Sunan Kalijaga. Sebagaimana karya Sunan Kalijaga lainnya, seperti lakon “Dewa Ruci” dan tembang “Lir Ilir”, “Petruk Dadi Ratu” memiliki kedalaman makna filosofis yang diungkapkan dalam berbagai simbol. Jadi, mirip-mirip karya-karya Leonardo da Vinci.
Sunan Kalijaga menggambarkan situasi jagad mayapada yang tengah kacau. Korupsi meraja lela.
Sama seperti sekarang. Mafia ada di mana-mana, dari migas, sapi, sampai garam. Kapal-kapal asing pencuri ikan dibiarkan berkeliaran tiap malam. Bongkar muat di pelabuhan diperlambat. Urusan birokrasi tidak jelas lagi alurnya. Uang sogokan tidak lagi berpindah di kolong meja, tapi sudah dengan meja-mejanya berpindah. Karuan saja semua itu menyengsarakan rakyat. Wakil rakyat yang seharusnya bekerja untuk rakyat malah jadi orang suruhan pengusaha kaya. Lebih lagi para wakil rakyat itu bersorak girang mendukung bakal calon presiden negara lain.
Sunan Kalijaga menggambarkan situasi kesemrawutan mayapada dengan sakitnya Abimanyu.
Anak Arjuna yang bakal meneruskan tahta kerajaan Astinapura ini menderita sakit hingga melumpuhkannya.
Kelumpuhan Abimanyu sebagai simbol lumpuhnya negara. Karena sakit, maka ketiga wahyu “kekuasaan” yang bersemayam di dalam tubuhnya keluar.