Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Tidak Tersaingi, Maka Gembosi

3 Desember 2014   06:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:10 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14175355811299581033

[caption id="attachment_357489" align="aligncenter" width="259" caption="Ogoh-ogih Ical di atas lumpur Lapindo (Sumber: Antarajatim.com"][/caption]

"Siapa kader Golkar yang potensial, memiliki kapasitas tinggi ingin menjadi ketua umum yang merakyat, gaya kepemimpinan disukai rakyat, siapa yang bisa menyaingi Jokowi? Gak ada biar satu. Gak ada." Itulah sebagian isi rekaman saat Nurdin Halid “menyetir” peserta Munas IX Golkar.

Dari rekaman pembicaraan tersebut terbaca jelas bila menurut Golkar, Jokowi adalah sosok pemimpin yang merakyat dengan gaya kepemimpinan yang disukai oleh rakyat karenanya sulit ditandingi. Jadi jelas, bila dalam lima tahun ke depan yang salah satu yang akan dilakukan Golkar adalah menggembosi popularitas Jokowi.

Kalau kita tidak memiiki kelebihan yang layak dijual, maka salah satu cara untuk memenangi persaingan adalah dengan men-down grade kelebihan lawan. Salah satu caranya adalah dengan menyerang lawan ketika ia melakukan kesalahan atau sesuatu yang bisa dianggap sebagai kesalahan. Kebijakan pengurangan subsidi BBM, misalnya, bisa dianggap sebagai sebuah kesalahan. Maka ketika pemerintah Jokowi mengurangi subsidi BBM, KMP sebagai lawan pilitiknya langsung menyerang. Bahkan KMP menggunakan hak interpelasinya. Dan ini baru pertama kalinya dalam sejarah DPR menginterpelasi pemerintah yang mencabut subsidi. Interpelasi yang bisa berujung pada pemakzulan ini merupakan strategi KMP untuk menggembosi Jokowi. Hal ini tidak ubahnya dengan Pansus Century yang menggembosi popularitas SBY.

Upaya penggembosan paling efektif dan efisien adalah lewat media, khususnya televisi. Lewat media, propaganda dan kontra-propaganda bisa dilakukan dengan semaksimal mungkin. Lewat media, kebohongan atau setidaknya pelintiran dapat diputar berulang-ulang sehingga diterima sebagai sebuah kebenaran. Lewat media sebuah kasus kecil bisa dibesarkan sedemikan rupa sehingga menghebohkan masyarakat luas.

Dalam kasus kericuhan pembagian dana PSKS, misalnya, dalam salah satu programnya RCTI mengarahkan pemirsanya untuk menyalahkan Jokowi sebagai penyebabnya. Dalam tayangan terlihat seorang ibu yang menyesal telah memilih Jokowi. Di sisi lain seorang Ketua RT meminta Jokowi untuk datang ketempatnya untuk melihat kericuhan di wilayah RT-nya akibat kesemrawutan data. Jika diingat kericuhan serupa pun terjadi pada saat pemerintah SBY membagikan dana BLT. Tetapi kesalahan atas semrawutnya data “dilemparkan” pada pihak pendatanya, yaitu BPS. Karenanya pada saat itu banyak diberitakan rumah petugas pendata yang digerebeg warga. Di beberapa kota kantor BPS, termasuk di Cirebon, didatangi masa yang meminta namanya dimasukan ke dalam daftar penerima BLT. Itulah kemampuan media dalam membentuk persepsi.

Kepemilikan pada media khususnya stasiun televisi inilah yang sebenarnya membuat Ical memiliki nilai tawar lebih ketimbang tokoh-tokoh Golkar lainnya. Lewat media yang dimiliki Ical, terutama TV One, KMP pimpinan Prabowo dapat membangun berbagai opini yang dimaui pihaknya. Dan, bila yang disasar adalah pemilu 2019, maka salah satu yang dilakukan adalah menyerang pemerintahan Jokowi.

Menariknya, TV One memandang pemirsanya bodoh sehingga serangan yang dilakukannya pun mudah dipatahkan. Salah satu serangan bodoh TV One pada Jokowi dilakukan pada 9 September 2013. Dalam tayangan Cover Story, dengan tajuk “Jokowi Effect Redup”, TV One menyebut kahadiran Jokowi dalam setiap kampanye pilgub tidak mampu mendongkrak perolehan suara kandidat yang didukungnya. Ditambahkan pula, Jokowi hanya mampu mengajak masyarakat untuk bertepuk tangan.

Tidak ada yang salah jika TV One mengatakan kehadiran Jokowi tidak mampu memenangkan jago yang didukungnya, karena fakta yang terjadi memang demikian. Di Jawa Barat, Jokowi tidak mempu memenangkan pasangan Rieke Dyah Pitaloka-Tenten Masduki, demikian pula dengan di Sumatera Utara, Bali, dan terakhir Jawa Timur. Dan, hanya di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mampu dimenangkannya.

Sayangnya TV One memberitakan redupnya efek Jokowi tersebut tanpa disertai data. Karena berdasarkan beberapa rilis survei, kehadiran Jokowi justru mampu mendongkrak suara calon yang didukungnya. (Sudah saya tuliskan di sini http://politik.kompasiana.com/2013/09/10/miskin-data-tv-one-sebut-jokowi-effect-redup-591269.html)

Konyolnya, strategi Ical lewat medianya ini mirip dengan strategi dalam sepak bola “pertahanan terbaik adalah menyerang”. Dengan strategi konyolnya ini Ical lebih asyik menyerang Jokowi ketimbang memikirkan dirinya sendiri. Terbukti meski direka sedemikian rupa tingkat elektabilitas Ical tidak pernah melampaui 10 %. Bahkan dalam persaingan cawapres pun Ical kalah oleh Hatta Rajasa yang tingkat elektabilitasnya di bawahnya. Jadi, kalau strategi Ical masih sama dengan yang diterapkan sebelumnya, maka bisa jadi justru Golkar-lah yang akan tumbang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun