Bisa dibilang Pilgub DKI 2012 menjadi tonggak baru dalam perang proxy di Indonesia. Sejak saat itu segala macam isu untuk mengadu domba dilontarkan. Tonggak tersebut semakin kuat tertanam begitu memasuki masa Pilpres 2014.
Lepas Pilpres 2014 upaya mengadu domba belum juga mengendur. Semenjak momen itu terjadi berbagai upaya adu domba, Sunni vs Syiah atau Cina vs etnis lainnya. Serangan-serangan berupa ujaran kebencian terhadap penganut Syiah dan keturunan Cina terjadi silih berganti. Seperti roda yang terus diputar. Tetapi upaya ini gagal. Baik penganut Syiah maupun warga keturunan Cina tidak menanggapinya.
Kegagalan merupakan kesuksesan yang tertunda. Begitu kata banyak orang bijak. Kenapa gagal? Begitu pertanyaan yang mengemuka. Dan, jawabannya sangat sederhana: Karena bertepuk sebelah tangan. Maka diciptakanlah “tangan” satunya agar bisa bertepuk, bahkan berbunyi keras. Masalahnya, bagaimana menciptakan “tangan” satunya.
Kedua tangan bisa bertepuk dan menimbulkan bunyi nyaring kalau ukurannya sama. Tidak mungkin terdengar tepukan kalau satu tangan berukuran besar sementara tangan satunya berukuran mini.
Setidaknya sejak pertengahan 2015 tepukan-tepukan kecil mulai terdengar. Saat itu pengumpulan KTP untuk Ahok sudah mulai digalang. Letupan-letupan kecil sudah mulai terjadi menyusul ujaran-ujaran yang dilontarkan oleh pendukung Ahok yang kemudian dikenal dengan nama Ahoker. Dari situlah upaya adu domba mulai menemukan bentuknya. Sedikit demo sedikit pendukung Jokowi sewaktu ditarik untuk membentuk satu “tangan” lainnya. Dan, dua tangan yang sama besar sama kuat sudah terbentuk. Sempurna!
Kemudian provokasi-provokasi dilontarkan lewat tangan-tangan ada di masing-masing kubu. Setiap provokasi yang dilontarkan itu kemudian tanoa sadar disambut dan diteruskan oleh masing-masing “komunitas”. Bummm...!
Selama 2016 lontaran provokasi yang mengadu domba semakin gencar. Pilgub DKI 2017 pun menjadi pintu yang dimanfaatkan secara maksimal. Pintu semakin membuka lebar setelah Ahok mengucapkan kata-kata yang dinilai menistakan Al Quran.
Provokasi yang dilontarkan tersebut dibungkus dengan generalisasi. Akibatnya, jumlah “komunitas” masing-masing kubu meningkat. Satu pihak menyebut phak seterunya sebagai anti-Islam, komunis, penjajah, hater, dll. Sementara pihak yang disebut sebagai anti-Islam menyebut lawannya sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila, radikal, teroris, hater, anti-kebhinekaan, dll.
Kedua kubu menutup mata atas fakta yang sebenarnya. Faktanya, tidak semua yang kelompok yang menuntut penegakan hukum atas Ahok tidak anti-NKRI, anti-Pancasila, radikal, teroris, dll. Ada NU, Muhammadiyah, Majelis Rasulullah, dll. Demikian juga sebaliknya, tidak semua non-muslim dan etnis Cina membela Ahok. Bahkan sejumlah kelompok non-muslim dan etnis Cina ikut turun dalam aksi demo 411.
MUI sebagai lembaga ulama berhimpun tidak luput dari serangan. Bergabai hujatan disarangkan kepada MUI. Mulai dari fitnah korupsi, penghasutan, sampai politisasi. Malah setelah mengeluarkan keputusannya tentang kasus Ahok, MUI pun diopinikan sebagai provokator.
Banyak juga yang menuding keputusan MUI itu keluar akibat desakan. Benar, MUI mengeluarkan pernyataannya akibat desakan. MUI didesak oleh situasi yang semakin memanas. Jika situasi itu tidak diredam, diperkirakan akan menimbulkan aksi-aksi di luar kendali. Dan ini sangat berbahaya.