Diawali semrawutnya DPT pemilu 2009 yang tak berujung. Akhirnya kurang dari 36 jam jelang pemilu presiden 2009 Mahkahmah Konstitusi memutuskan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT bisa memilih dengan menunjukkan KTP, Paspor, dan identitas lainnya. Keputusan MK ini sebagai jawaban atas banyaknya rakyat yang tidak terdaftar dalam DPT.
Menariknya, soal kesemrawutan DPT kembali terulang pada pemilu 2014 ini. Sekalipun tidak sekacau DPT 2009, pada DPT 2014 pun masih ditemukan pemilih ganda dan tidak terdaftarnya pemilih. Dengan demikian keputusan MK yang mensahkan KTP, paspor, atau identitas lainnya masih diberlakukan.
Sekilas sepertinya keputusan MK tersebut telah menyelesaikan kekacauan DPT di mana pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya. Namun, bila dicermati keputusan MK tersebut dapat berpotensi menimbulkan kecurangan yang sifatnya masiv.
Keputusan MK tersebut secara tidak langsung telah mengaburkan jumlah DPT, karena siapa saja yang tidak terdaftar, asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan MK dapat ikut memilih dengan mendaftar di TPS setelah pukul 12.30.
Di sinilah kecurangan bisa dilakukan. Sebagai gambaran, Si A yang terdaftar dalam DPT di TPS 10 RW 01 akan mencoblos di pagi hari. Setelah mencoblos di TPS 10, Si A mendaftar di TPS 11 RW 01 dengan menunjukkan KTP-nya. Tentu saja, petugas di TPS 11 tidak memperhatikan (atau dikondisikan) tidak tahu bila Si A sudah mencoblos di TPS 10. Bayangkan bila ada 25 orang yang terdaftar di TPS 10 RW 01 dimobilisasi mencoblos dua kali di TPS 11. Jika dari 1 TPS dimobilisasi 10 orang untuk mencoblos 2 kali (asal masih satu RW), bisa dibayangkan berapa banyak suara yang bisa didapat oleh pihak yang memobilisasi pemilih tersebut. Dan, modus penggelembunagn suara seperti ini sangat sulit terdeteksi.
Pertanyaannya, apakah jika ada mobilisasi sebesar itu, pastinya total suara yang sah akan melebihi jumlah total DPT? Tentu saja tidak, karena masalah besar dalam DPT ada dua. Pertama, penggandaan pemilih. Kedua, penghilangan hak suara pemilih. Pada DPT pemilu 2009 penggandaan pemilih begitu masiv. Satu pemilih bisa digandakan lebih dari 5 kali. Sedang, jika pun total suara sah melebihi jumlah DPT, mengacu pada keputusan MK, hal itu pun masih sah. Karena dengan adanya keputusan MK tersebut total DPT menjadi kabur.
Bukankah setelah mencoblos, jari pemilih dicelupkan di botol tinta. Benar, tetapi kualitas tinta pada pemilu tidak sebaik seperti kualitas tinta pemilu 1999 dan 2004. Pada kedua pemilu itu bekas tinta masih nampak sampai 3 hari. Sedang pada pemilu 2009, hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk membersihkannya. Terlebih bila sebelum memasuki TPS jari yang akan dicelupkan pada tinta sudah diolesi balsam atau zat-zat lainnya.
Siapa yang bisa dikerahkan? Pastinya kader dan simpatisan. Namun potensi pengerahan massa juga bisa dilakukan pada masyarakat kecil. Masalahnya, masyarakat kecil biasanya tidak memiliki KTP. Gampang, untuk memancing masyarakat bawah memiliki KTP bisa didorong lewat BLT dengan syarat kepemilikan KTP. Dan untuk pemilu 2014 ada program e-KTP yang sebelumnya dituntaskan pada 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H