Kios “Baso Mas Agus”, Pasar Talaga, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 11 Oktober 2016 pukul 15 lebih.
Dering “Basic Bell” terdengar nyaring. Ujung-ujung sumpit yang sudah menjepit mie bercampur saus merah kembali merenggang. Kuluruskan kaki kiriku untuk memudahkan tanganku merogoh ponsel dari kantong kiri celana jeans yang kupakai. “Basic Bell” masih berdering saat ponsel itu keluar dari kantongnya. Bunyinya berbaur dengan alunan lagu dangdut koplo pantura “Wong Lanang Lara Atine”.
Flip ponsel model “V” kubuka. Sekilas kulihat ID pemanggilnya.
“Halo,” sapaku,”Assalamualaikum, Mbak.
“Waalaikum salam, Mas,” balas peneleponku. Suaranya tidak begitu jelas. “Wong Lanang Lara Atine” lebih berisik dari suara yang keluar dari ponselku. “Bagaimana kabarnya, Mas?”
Obrolan “bla bla bla” yang dibumbui cekikikan pun berlangsung lumayan lama. Sekitar empat menitan. Setidaknya cukup lama untuk membuat mie ayam yang kusantap menjadi dingin. Lagu “Wong Lanang ...” pun sudah berganti dengan lagu yang tidak kutahu judulnya.
“Mau pesan batik lagi nih.” Akhirnya ia menyampaikan maksud dan tujuannya meneleponku. “Motif yang kemarin,” sambungnya.
“Motif ..” kucoba mengingat-ingat. Sayangnya, ingatanku memang sudah tidak lagi panjang.
Kembali tangan kiriku merogoh isi kantong celana. Lantas kukeluarkan smartphone dari dalamnya. Ujung telunjuk kananku pun langsung bergerak-gerak liar menyentuh layar smartphone. Muncullah laman “Batik Cirebon Online Shop” Pada laman itu aku memajang foto-foto barang dagangan batikkku. Semua foto yang ditampilkan di sana kujepret sendiri.
“Motif “Ciwaringin” ya?” tanyaku sedikit ragu.
Seingatku ia sudah empat kali membeli batik Cirebon dari “lapak” yang kupunya. Katanya, batik-batik yang dibelinya itu akan dijual lagi di toko pakaian miliknya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kalau tidak salah ingat terakhir kali ia membeli batik motif Ciwaringinan.