Ada yang pernah menyantap docang. Docang memang kalah ngetop ketimbang nasi lengko, tahu gejrot, Â atau empal gentong. Karenanya tidak mengherankan bila banyak yang belum pernah mendengar nama makanan ini.
Berbeda dengan nasi lengko yang nikmat dimakan kapan pun, pagi, siang atau malam, docang lebih mirip dengan empal gentong. Bedanya, kalau docang lebih pas disantap untuk sarapan, sedang empal gentong lebih nikmat untuk makan siang. Memang, belakangan ada juga yang menjual docang di waktu malam, tapi penjualnya masih bisa dihitung dengan jumlah jari satu tangan.
Docang yang namanya diambil dari kacang dibodo atau dibacem ini termasuk makanan sehat yang bebas kolesterol, karena isinya sayuran semua, tidak pakai daging apalagi jeroan. Docang dibuat dari lontong yang diiris-iris kecil, ditaburi parutan kelapa muda, irisan daun singkong dicampur dengan toge yang telah direbus. Kemudian disiram kuah panas yang berisi dage (sejenis oncom) yang dihancurkan, sehingga mengapung di bagian atas kuah. Belum cukup di situ, sebelum disajikan docang ditaburi kerupuk yang diremas sehingga membuat rasa gurih.
Yang menarik dari docang adalah sejarahnya. Konon docang sudah sejak masa para wali. Konon, ada seorang pangeran yang sangat membenci para wali karena menyebarkan agama Islam di pelosok Jawa. Pangeran itu kemudian berencana untuk meracuni para wali. Nah, pangeran itu kemudian mengolah dari sisa-sisa makanan yang tidak habis dan kemudian dicampur dengan racun. Kemudian makanan itu disuguhkan kepada para wali yang sedang kopdar di Masjid Agung Keraton Cirebon.
Para wali pun kemudian menyantap makanan yang dihidangkan sang pangeran. Entah bagaimana, racun yang dicampurkan ke dalam makanan itu tidak berpengaruh sama sekali. Anehnya lagi, ternyata para wali justru menyukai masakan tersebut.
Dan, sampai sekarang makanan yang diracik dari bahan-bahan sederhana itu digemari oleh masyarakat Cirebon. Tapi, tidak ada catatan sejarah yang menyebut kapan makanan yang pada mulanya beracun itu diberi nama docang. Tapi, sepertinya efek racunnya masih ada pada kuliner ini. Terbukti jika penyantapnya akan "teracuni" oleh kelezatannya
Ada yang ingin unjuk kesaktian dengan menyantap makanan "berracun" ini? Mangga dicicipi, Mang.
[caption id="attachment_362709" align="aligncenter" width="257" caption="Sumber: cireboner.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H