Memang benar seperti yang saya tulis di “Kenapa Jokowi Terus Dihinadinakan? (Trik Memenangi Pilkada)” kampanye hitam sangat ampuh untuk menggerogoti elektabilitas lawan. Menurut Politicawave, kampanye negatif terhadap Prabowo 86,5 persen dan 13,5 kampanye hitam. Sedangkan lawannya, Jokowi-Jusuf Kalla, lebih banyak diserang kampanye hitam hingga mencapai 94,9 persen, sedang kampanye negatif hanya 5,1 persen.
Serangan kampanye hitam terhadap Jokowi ini ditenggarai sebagai penyebab tergerogotinya elektabilitas Jokowi. Jelang hari H pencoblosan elektabilitas Prabowo dibanding Joko Widodo kini hanya tertinggal 6 persen. Bahkan sejumlah lembaga survei menyatakan elektabilitas Prabowo sudah menyalip Jokowo.Padahal sebelumnya, elektabilitas Prabowo kalah sekitar 20 persen dari Jokowi.
Kampanye hitam memang sangat efesien untuk menjatuhkan lawan. Kampanye ini sangat murah juga. Pengkampanyenya cukup menyebar luaskan serangkaian fitnah terhadap lawannya. Pemfitnahannya pun bisa dilakukan di mana saja, di dunia nyata bisa lewat tabloid-tabloid gelap, selembaran gelap, sedang di dunia maya bisa menggunakan Facebook, Twitter, situs-situs, dan lainnya. Pelaku kampanye hitam tidak perlu mikir terlalu rumit, tidak perlu data, tidak perlu fakta. Yang dibutuhkannya hanya otak mesum dan pulsa.
Tapi, kampanye hitam sebagaimana ilmu hitam bukan tanpa penawar. Kalau kampanye hitam bersama kampanye negatif termasuk dalam sentimen negatif, maka ada sentimen positif sebagai penawarnya. Nah, selisih dari sentimen positif dan negatif inilah yang disebut dengan net setimen. Kalau sentimen negatif lebih besar dari sentimen positif, maka net sentimennya negatif. Demikian pula sebaliknya.
Ada data yang menarik sebagai bahan perenungan ketika bertapa. Pada periode 8 Juni hingga 5 Juli 2014, PoliticaWave mencatat 1.592.323 netizen yang melakukan percakapan terkait kedua pasangan capres dan cawapres. Berdasarkan margin antara sentimen positif dan negatif (net sentiment), Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo-Hatta dengan net sentiment 3,5 kali lebih positif.
Menariknya, jumlah netizen yang melakukan percakapan (share of netizen) menunjukkan keunggulan pasangan Jokowi-JK sebesar 53,8% dibandingkan pasangan Prabowo-Hatta sebesar 46,2%. Angka ini sebelas-dua belas dengan perolehan suara kedua pasangan dalam Pilpres 2014. Jokowi memperoleh 52,72 % sedang Prabowo 47,28 %.
Nah, ini yang harus diperhatikan oleh kontestan pemilu, berdasarkan pengalaman PoliticaWave, 10 dari 12 pilkada dan pileg dimenangkan oleh kandidat yang percakapannya paling besar dan paling positif. Jadi, semakin jelas, kalau kampanye hitam dan kampanye negatif dapat dikalahkan dengan kampanye positif yang lebih sering disuarakan. Kalau ada kontestan pemilu yang mendapat serangan kampanye negatif dan kampanye hitam yang gila-gilaan, maka kampanye positifnya yang dilancarkannya harus lebih edan-edanan lagi.
Tambahan:
Kok, tumben saya tidak menyebut-nyebut partai dakwah, kader dakwah, partai Islam, atau, PKS? Kali ini saya tidak menyebutkannya sebagai ungkapan selamat kepada PKS yang telah berhasil menggelar muktamarnya. Terlebih, setelah Presiden PKS yang baru, Ustad Muhammad Sohibul Iman, dikenal dekat dengan lingkungan Syiah, JIL, SEPILIS, dkk. Dan lingkungan itu yang biasa dikata-katai oleh kader-kaderdakwah sebagai antek Yahudi, antek Zionis, dan berbagai antek-antek lainnya.
Bukan saja itu, Ketua Majelis Syuro PKS sekarang dipimpin oleh Salim Segaf Aljufri. Konon mantan Menteri Sosial di era SBY ini keturunan dari habib yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi Islam Ahlulbait. Cucu dari ulama besar Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie yang juga pendiri yayasan Al-Khairaat.
Semoga terpilihnya kedua tokoh PKS tersebut dapat membuka mata kader kalau paham Ikhwanul Muslimin sangat terbuka yang bisa berangkulan dengan siapa saja, termasuk Nazi, Zionis, dll. Keterbukaan ini juga yang ditunjukkan oleh AKP di Turki dan Mursi di awal masa kepresidenannya. Bukan tertutup eklusif seperti yang dipamerkan oleh kader-kader PKS selama beberapa tahun ini.