Saat memberi sambutan dalam acara Demokrasi Tanpa Korupsi di Museum Nasional pada 14 Desember 2014, Ahok mengatakan kalau identitasnya sebagai keturunan Tionghoa dan non-muslim sering diungkit-ungkit.
"Saat seperti itu, kelemahan saya diungkit. Mudah saja, sudah Cina, kafir pula." Begitu kata Ahok seperti yang dikutip Tempo
Bukan hanya Ahok, para pendukung Ahok seperti Ongen Sangaji pun mengatakan ketidaksetujuan kader Hanura lainnya untuk mendukung Ahok dikarenakan alasan etnis dan agama yang dianut oleh Ahok.
Kenapa pihak Ahok menggunakan “kelemahan”? Apakah keturunan Tionghoa yang beragama non-muslim dianggap sebagai kelemahan oleh Ahok? Bagi sebagian orang ke-double minority-an status Ahok dianggap sebagai kelemahan. Tapi, bagi sebagian lagi tidak mempersoalkannya.
Dan, warga Jakarta sendiri yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan keanekaragaman sudah kebal dengan isu-isu yang berbau SARA. Buktinya, meski terpaan isu SARA begitu kencang menghantam PDIP dan Jokowi pada Pileg dan Pilpres 2014, toh di Jakarta keduanya yang keluar sebagai pemenangnya.
Jadi, ketika Ahok mengatakan "Saat seperti itu, kelemahan saya diungkit. Mudah saja, sudah Cina, kafir pula." Terdengar seperti Cita Citata yang sedang menyanyikan lagu “Aku Mah Apa Atuh”. Begini penggalan liriknya, “Aku mah apa atuh, cuma selingkuhan kamu. Aku mah apa atuh, cuma pacar gelapmu. Aku mah apa atuh, cuma selingkuhan kamu. Aku mah apa atuh, cuma cadanganmu.”
Lha, memangnya Tionghoa dan non-muslim itu sebelas-dua belas dengan selingkuhan, pacar gelap, dan cadangan? Kesannya, Ahok memosisikan dirinya sebagai orang yang dikesampingkan. Dan, sebagai orang yang dikesampingkan, Ahok berupaya mencari simpati dan dukungan.
Dengan memposisikan dirinya sedemikian rupa, maka kemenangan Ahok pada Pilgub 2017 nanti dijadikan simbol atas kemenangan bagi kebhinekatunggalikaan. Sampai-sampai Goenawan Mohamad mengatakan,
“Tadi sore saya tanya seorang arsitek muda, kenapa dukungan untuk Ahok + Heru itu penting, dan kenapa dia ikut dukung, padahal dia ( seperti saya), tak setuju dengan rencana Reklamasi Teluk Jakarta. Jawabnya: "Karena kemenangan Ahok itu bukan hanya sekedar urusan Jakarta dan pembangunannya, tapi urusan nasional -- menyangkut hak kita-kita, orang yang tak berpartai, dan menyangkut hak kewarganegaraan tiap orang untuk dipilih, tanpa diskriminasi rasial dan agama".
Oke, setuju dengan “menyangkut hak kewarganegaraan tiap orang untuk dipilih, tanpa diskriminasi rasial dan agama". Tapi, apa harus Ahok? Jika membangun keindonesian dengan Ahok sebagai simbolnya, itu sama saja dengan membangun rumah dengan pondasi yang keropos sebab tingkat resistensi terhadap Ahok cukup tinggi. Kenapa yang dijadikan simbol bukan Jaya Suprana, I Gede Mangku Pastika, atau Muzakir Manaf yang mantan komandan GAM?
Karenanya tidak aneh kalau terkesan isu SARA tersebut justru dimainkan oleh pendukung Ahok. Coba pikirkan, ada kampanye “Saya Muslim, Haram Pilih Ahok”. Serangan ini dengan mudah dimentahkan dengan “Saya Muslim, Saya Pilih Ahok”. Lantas dikampanyekan juga “Orang Jakarta Kebal Dengan Isu SARA”. Satu serangan dilawan dengan dua serangan atau satu lawan dua. Mana yang menang?