Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Curhat" Saya di Kompasiana "Dikabulkan" MK

23 Januari 2014   23:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini lewat buku yang ditulisnya sendiri Pak SBY curhat. Ada banyak kisah yang dicurhati oleh Pak Presiden, mulai dari putra bungsunya, Ibas, yang sering difitnah dan membuat Ibu Ani menangis pilu, sampai serangan-serangan lawan politik.yang gigih mengampanyekan anti-SBY.

Kalau Pak SBY curhat lewat bukunya yang tebal dan membuatnya stres itu, saya “curhat” lewat blog keroyokan Kompasiana. Dan, kalau Pak Presiden, kepala negara kita, curhat soal anaknya, istrinya, dan musuh-musuh politiknya, maka sebagai rakyat jelata saya “curhat” soal bangsa dan negara.

Beruntung bagi saya “curhat” pada Kamis 23 Januari 2014 lalu “dikabulkan” oleh Mahkamah Konstitusi. Ternyata “curhatan” saya di Kompasiana ini lebih “didengar” oleh MK ketimbang permohonan uji materi yang diajukan Effendi Ghazali maupun Yusril Ihza Mahendra.

Awalnya, saya curhat soal ketidaksetujuan saya pada presidential threshold. Dalam artikel “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar” yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013 pukul 14:5 WIB saya berpendapat sebaiknya untuk pemilu presiden ke depan, PT ditetapkan 0% (nol persen). Hal ini selain untuk menjaring semaksimal mungkin pasangan capres-cawapres (paling tinggi sejumlah parpol yang lolos parliamentery threshold) juga untuk meminimalisasi tersanderanya presiden oleh kungkungan kepentingan-kepentingan politik-ekonomi yang berpotensi mengacaukan jalannya pemerintahan.

Empat bulan kemudian, tepatnya 15 Desember 2013 pukul 23:47 saya memosting “Plus-Minus Bila MK Kabulkan Pemohonan Yusril Terkait Pencapresan”. Tulisan itu ditayangkan sebagai opini atas permohonan uji materi yang diajukan Yusril Izha Mahendra. Kali ini yang diujinya adalah Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Pada artikel itu saya mencoba mengulas

Salah satu dampak positifnya yang saya tulis terkait dengan penghilangan presidential threshold. Secara otomatis presidential threshold tidak lagi diberlakukan. Dengan tidak adanya lagi ambang batas sebagai syarat maka semua parpol atau gabungan parpol berhak mengajukan capres potensialnya tanpa tergantung pada perolehan suara pileg. Jumlah pasangan capres-cawapres pun bisa sebanyak jumlah parpol yang berkompetisi. Hasilnya, pemilih memilki lebih banyak pilihan pasangan capres-cawapres dibanding bila presidential threshold masih diberlakukan.

Sebagai penggemar berita gosip, saya pun tidak melewatkan kegalauan Pak Presiden dan menuliskannya dengan judul Dengar Gosip, Pak Presiden Galau 18 Desember 2013 pukul 21:28 WIB. Memang bukan gosip tentang barang-barang Syahrini yang diekspos tiap pukul sebelas siang. Bukan pula soal duel Farhat lawan El. Apalagi soal Ayu Ting-ting. Bukan! Tapi, ini juga bukan kabar burung bocoran Wikileaks yang buat merah kuping istana. Bukan!

Entah dari mana Pak SBY mendengar bisik-bisik soal gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Pak Yusril Ihza Mahendra yang katanya bakal dikabulkan MK..

“Saya dengar dan mudah-mudahan tidak benar dan tidak terjadi. Konon katanya, Perppu tentang MK dikaitkan dengan apa yang sedang ditangani MK, yaitu persoalan UU Pilpres. Saya dengar bahwa bisik-bisik politik itu bisa dikaitkan. Saya tidak percaya,” kata Pak Presiden tanpa merinci bagaimana mengaitkannya (Biang Gosip).

Bisik-bisik yang Menggalaukan SBY Diluruskan Mahfud MD. Artikel inilah yang saya tayangkan pada 19 Desember 2013 pukul 21:14. Hari ini, Kamis (19/12/2013). menurunkan berita tentang pengamatan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terhadap beberapa hakim MK lainnya terkait UU Pemilu.

“Saat itu ada pikiran dari beberapa hakim MK yang mengatakan, kalau begini caranya, kita tidak bisa mengubah arah bangsa yang lebih baik. Jadi, kali ini, bisa saja MK mengubah pendiriannya (untuk mengabulkan gugatan),” kata Mahfud saat memberikan kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Kamis (19/12/2013).

Kok, Pak Presiden galau bila pemilu digelar serentak? Mungkin inilah penyebab kegalauan Pak SBY sebagaimana saya yang tulis dalam Pemilu Serentak: Siapa Untung, Siapa Buntung? . Dalam artikel yang ditayangkan pada 22 Januari 2014 pukul 12:22 WIB tersebut saya menulis dengan pemilu serentak maka Demokrat, ARB dan PDIP-lah sebagai pihak yang paling dirugikan, sedang Golkar dan pendukung Jokowi menjadi pihak yang paling diuntungkan. Golkar tidak lagi dibebani oleh masalah Lapindo yang menjadi tanggung jawab ARB sedang pendukung Jokowi tidak lagi harus mencoblos PDIP untuk memenangkan Jokowi sebagai Presiden RI.

Dan tepat sebelum MK mengetok palo terkait permohonan uji materi yang diajukan Effendi Ghazali saya menayangkan “Hindari Chaos, MK Harus Tolak Permohonan “Pemilu Serentak””. Dalam artikel yang ditayangkan pada 23 Januari 2014 pukul 12:22 itu saya menulis MK tidak hanya menimbang sisi “teks hukum” saja. Ada faktor lain yang dijadikan MK sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Bagi MK yang terpinting adalah apakah keputusannya itu menguntungkan atau merugikan masyarakat. Saya berpendapat demikian berdasarkan pada Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009.

Dalam keputusan tersebut tercantum kewajiban negara untuk melindungi rakyat banyak dari hal-hal yang berpotensi mengguncang ketenangan, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Maka saya pun menyimpulkan berkaca dari pertimbangan keputusan MK soal rilis survei pada pemilu 2009 dan potensi timbulnya kerusuhan/chaos pada 2014 bila pemilu digelar serentak, seharusnya MK menolak permohonan Effendi dan Yusril.

Dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tersebut MK memutuskan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak mulai tahun 2019, dan bukan 2014. Alasannya, tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Dan jika dilaksanakan pada tahun ini akan mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.

Jadi, dua “curhatan” saya dikabulkan MK yaitu dengan gelar pemilu serentak yang berakibat pada dihapuskannya presidential threshold dan pemilu 2014 berjalan sesuai rencana sehingga menimalisasi potensi chaos. Tapi, keputusan MK yang mengabukan “curhatan” saya ini justru bermasalah karena malah menghidupkan bom waktu bagi presiden terpilih pilpres 2014. Jika MK mau bermain cantik, seharusnya MK mengulur waktu sidang, bukankah sidang gugatan Effendi pun sudah molor beberapa bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun